Sudah lama simbah tinggal di komplek dan bertonggo-teparo dengan warga petani sayur yang tinggal di sekitar komplek. Warga petani sayur ini adalah pendatang, bertani di lahan kosong dan tinggal di komplek yang dinamai sebagai "gubugan". Sesuai namanya, rumah yang berdiri merupakan gubug-gubug reyot yang bisa dibayangkan sampeyan mungkin akan susah memejamkan mata istirahat di tempat itu.
Gubugnya pendek, terbuat dari potongan-potongan kayu bekas dan lantainya tanah, dimana kalo musim hujan begini akan terasa mujahadahnya tinggal di lokasi tersebut. Beberapa lokasi yang letaknya rendah, warga gubugan harus sering ngungsi karena air banjir bisa sampai setinggi pinggang mereka. Dan jika tidak banjir, mereka harus berjibaku mencegah pertumpahan darah akibat serangan nyamuk.
Hanya saja, kehidupan miris dan getir ala kere warga gubugan ini seringkali kontras dengan kondisi rumah mereka di kampung. Walaupun tidak semua, namun sebagian dari warga gubugan ini merupakan keluarga yang tidak bisa dikatakan mlarat di kampungnya. Rumah-rumah mereka besar dan luas. Sebagiannya memiliki mobil. Dan hebatnya, motornya selalu update. Tiap kali ada motor baru keluar di pasaran, mereka selalu sudah punya. Beda dengan motor butut simbah yang sudah butut berdebu, hingga bisa dipastikan kalo susah cari air di perjalanan, simbah tak perlu susah mencari debu buat tayamum. Tinggal nemplokne tlapak tangan ke jok, beres dah...
Waktu yang selalu mereka tunggu adalah saat datangnya lebaran. Selama hampir sebulan mereka menghabiskan waktu di kampung. Selain menghabiskan waktu, mereka juga menghabiskan duit yang telah mereka kumpulkan selama setahun. Mereka belanjakan uang hasil jerih payah selama setahun kerja di kota, seakan tidak ada hari esok. Sehingga tidak ada pikiran buat nabung atau menyimpan buat hari esok atau hari tua. Semua habis dalam waktu beberapa hari. Jika sudah habis, ya besoknya ke kota nyari duit lagi.
Simbah mengambil pelajaran dari siklus warga gubugan ini. Betapa mereka selama setahun mau bersusah payah hidup di bawah standar dan meninggalkan kenyamanan rumah megah mereka di kampung, demi menikmati lebaran yang mereka nikmati selama sekian hari di istananya di kampung. Kebanjiran, basah kuyup, tidur seadanya dibrakoti nyamuk, rumah pengap dan sekian banyak mujahadah hidup ditanggung demi membawa bekal untuk bersenang-senang di saat lebaran tiba di kampung.
Simbah rasakan itu merupakan miniatur kehidupan di dunia dan akherat. Aslinya, rumah saya, sampeyan dan kita semua adalah di kampung akhirat. Kita di dunia ini ibarat merantau mencari bekal buat pulang kampung sebagaimana warga gubugan tetangga simbah. Selama mencari bekal ini, jangan berpikir mau tidur nyenyak, bikin rumah permanen, hidup nyaman ataupun bermeah-mewah. Karena jika begitu, maka kehidupan perantauan bisa bikin lupa kampung halaman. Di perantauan kita dituntut banyak mujahadah. Mampir ngombe yang sebentar, seharusnya tidak menjadikan kita lupa diri sehingga lalai dari perjalanan menuju kampung halaman.
Jadi kalau sekarang hidup sampeyan mlarat dan penuh mujahadah, jangan minder. Ini bukan kampung halaman asli sampeyan. Ini cuma perantauan dalam mencari bekal. Apa yang ditumpuk manusia di sekitar sampeyan bukanlah bekal yang sesungguhnya untuk pulang kampung. Bekal untuk pulang kampung justru ada pada apa yang telah mereka tabung untuk perjalanan menuju kampung halaman. Maka yang harus menjadi fokus saya dan sampeyan adalah, "Sudah nabung berapa buat berhari raya di kampung akherat kelak?" Kampung dimana merupakan tempat menikmati hasil jerih payah seakan tidak ada hari esok. Dan sejatinya memang saat itulah hari esok yang sesungguhnya.