Rabu, 26 Februari 2014

Pulang Kampung

Sudah lama simbah tinggal di komplek dan bertonggo-teparo dengan warga petani sayur yang tinggal di sekitar komplek. Warga petani sayur ini adalah pendatang, bertani di lahan kosong dan tinggal di komplek yang dinamai sebagai "gubugan". Sesuai namanya, rumah yang berdiri merupakan gubug-gubug reyot yang bisa dibayangkan sampeyan mungkin akan susah memejamkan mata istirahat di tempat itu.

Gubugnya pendek, terbuat dari potongan-potongan kayu bekas dan lantainya tanah, dimana kalo musim hujan begini akan terasa mujahadahnya tinggal di lokasi tersebut. Beberapa lokasi yang letaknya rendah, warga gubugan harus sering ngungsi karena air banjir bisa sampai setinggi pinggang mereka. Dan jika tidak banjir, mereka harus berjibaku mencegah pertumpahan darah akibat serangan nyamuk.

Hanya saja, kehidupan miris dan getir ala kere warga gubugan ini seringkali kontras dengan kondisi rumah mereka di kampung. Walaupun tidak semua, namun sebagian dari warga gubugan ini merupakan keluarga yang tidak bisa dikatakan mlarat di kampungnya. Rumah-rumah mereka besar dan luas. Sebagiannya memiliki mobil. Dan hebatnya, motornya selalu update. Tiap kali ada motor baru keluar di pasaran, mereka selalu sudah punya. Beda dengan motor butut simbah yang sudah butut berdebu, hingga bisa dipastikan kalo susah cari air di perjalanan, simbah tak perlu susah mencari debu buat tayamum. Tinggal nemplokne tlapak tangan ke jok, beres dah...

Waktu yang selalu mereka tunggu adalah saat datangnya lebaran. Selama hampir sebulan mereka menghabiskan waktu di kampung. Selain menghabiskan waktu, mereka juga menghabiskan duit yang telah mereka kumpulkan selama setahun. Mereka belanjakan uang hasil jerih payah selama setahun kerja di kota, seakan tidak ada hari esok. Sehingga tidak ada pikiran buat nabung atau menyimpan buat hari esok atau hari tua. Semua habis dalam waktu beberapa hari. Jika sudah habis, ya besoknya ke kota nyari duit lagi.

Simbah mengambil pelajaran dari siklus warga gubugan ini. Betapa mereka selama setahun mau bersusah payah hidup di bawah standar dan meninggalkan kenyamanan rumah megah mereka di kampung, demi menikmati lebaran yang mereka nikmati selama sekian hari di istananya di kampung. Kebanjiran, basah kuyup, tidur seadanya dibrakoti nyamuk, rumah pengap dan sekian banyak mujahadah hidup ditanggung demi membawa bekal untuk bersenang-senang di saat lebaran tiba di kampung.

Simbah rasakan itu merupakan miniatur kehidupan di dunia dan akherat. Aslinya, rumah saya, sampeyan dan kita semua adalah di kampung akhirat. Kita di dunia ini ibarat merantau mencari bekal buat pulang kampung sebagaimana warga gubugan tetangga simbah. Selama mencari bekal ini, jangan berpikir mau tidur nyenyak, bikin rumah permanen, hidup nyaman ataupun bermeah-mewah. Karena jika begitu, maka kehidupan perantauan bisa bikin lupa kampung halaman. Di perantauan kita dituntut banyak mujahadah. Mampir ngombe yang sebentar, seharusnya tidak menjadikan kita lupa diri sehingga lalai dari perjalanan menuju kampung halaman.

Jadi kalau sekarang hidup sampeyan mlarat dan penuh mujahadah, jangan minder. Ini bukan kampung halaman asli sampeyan. Ini cuma perantauan dalam mencari bekal. Apa yang ditumpuk manusia di sekitar sampeyan bukanlah bekal yang sesungguhnya untuk pulang kampung. Bekal untuk pulang kampung justru ada pada apa yang telah mereka tabung untuk perjalanan menuju kampung halaman. Maka yang harus menjadi fokus saya dan sampeyan adalah, "Sudah nabung berapa buat berhari raya di kampung akherat kelak?" Kampung dimana merupakan tempat menikmati hasil jerih payah seakan tidak ada hari esok. Dan sejatinya memang saat itulah hari esok yang sesungguhnya.

Senin, 24 Februari 2014

ILMU SEBELUM AMAL

Kang Dudul yang tamatan SD beberapa hari ini lagi rajin ndakwahi konco-konconya. Setiap sore Kang Dudul sudah tampak mendatangi kerumunan-kerumunan orang untuk diajak sholat jamaah ke masjid. Tidak semua orang suka dengan aktipitas kang Dudul. Terutama Kang Dodol yang sarjana ahli Hadits tamatan Medinah. Dianggapnya Kang Dudul adalah orang awam yang belum pantas berdakwah. Menurutnya, kang Dudul masih jahil. Maka suatu ketika Kang Dodol menegur Kang Dudul yang sedang ndakwahi konconya..

Kang Dodol : Maaf Kang, Sampeyan itu sebaiknya ngaji dulu sampe katam, baru ndakwahi orang. Kalo tidak nanti sampeyan bisa sesat dan menyesatkan.

Kang Dudul : Kok bisa begitu Kang? Apa saya harus nunggu katam semua ilmu alat buat dakwah?

Kang Dodol : Ya jelas Kang. Ilmu itu sebelum amal dan ucapan. Jadi sampeyan kudu berilmu dulu, baru ngamal dan ngomong.

Kang Dudul : Maksudnya berilmu itu gimana kang?

Kang Dodol : Ya sampeyan kudu rajin taklim. Mendatangi ustadz-ustadz untuk duduk taklim bareng mereka.

Kang Dudul : Saya mau tanya Kang, sampeyan itu kan guru baca Al Qur'an. Ngaji Al Qur'an itu kan ngamal kang. Dan miturut sampeyan, ngamal itu kan harus dengan ngelmu, benar kan?

Kang Dodol : Benar itu. Ngaji baca Al Qur'an itu kudu berilmu.

Kang Dudul : Sampeyan kan tahu si Tikno Sontrot itu baca Al Qur'annya grothal-grathul. Sampeyan kan juga tahu, ngelmu baca dan tajwidnya kurang. Kenapa sampeyan biarkan dia baca Al Qur'an terus, padahal ngelmunya gak punya? Katanya ngelmu dulu baru ngamal kang...?

Kang Dodol : (sambil agak puyeng) Lho itu dia memang kudu sering baca Al Qur'an, biar nantinya mahir dan berilmu. Justru walaupun grothal-grathul, dia pahalanya berlipat ganda karena bersungguh-sungguh belajar. Makin banyak jam terbang, makin tambah berilmu dan mahir.

Kang Dudul : Saat dia baca grothal-grathul itu dia sudah beramal belum Kang? Dan maksudnya jam terbang itu apa? Bukankah menambah jam terbang itu itu merupakan amal? Padahal dia kan belum berilmu. Katanya ilmu dulu baru amal.

Kang Dodol :  iya itu betul. Jadi dengan seringnya dia baca, maka akan membuat dia pandai dan mahir membaca Al Qur'an.

Kang Dudul : Nah, kalo begitu yang bener "Ilmu dulu baru amal", atau "rajin ngamal dulu baru ntar dapat ngelmu"...??

Kang Dodol gembrobyos setengah modyar. Ha kok bisa kewolak-walik ini gimana tho...
Yah, begitulah. Banyak yang memahami perkataan "Ilmu itu sebelum amal dan ucapan" dengan pemahaman menuntut ilmunya itu dengan ngaji lungguh sedeku, mirengake pak guru menowo didangu. Menuntut ilmu itu dengan taklim dimana si murid menghabiskan waktu duduk diam mendengarkan sang ustadz.

Padahal banyak ilmu yang cara menuntutnya itu dengan cara beramal. Baca Al Qur'an contohnya, makin sering baca, maka makin pinter. Sebagaimana pilot, sopir truck, dokter, dan hampir semua profesi, makin banyak amal dan praktek, atau sebagaimana kata Kang Dodol "Makin tambah jam terbang" maka makin mahirlah dia.

Lha kalo belajar Al Qur'an cuma menthelengi buku ilmu tajwid diapalne sampe katam, tapi gak pernah nyoba baca, ya gak pinter-pinter sampeyan.

Sama dengan dakwah. Harus makin sering dilakukan agar mahir. Tentu saja dengan bimbingan ahli dakwah. Karena dakwah dipelajari dengan amal, bukan dengan duduk sedeku. Belajar dakwah nunggu pinter dan apal kaidah dakwah, sama halnya belajar renang dengan cara baca buku renang sampe katam dan apal. Jlungupke kolam langsung ambles. Ha wong gak pernah njebur. Coba kalo dia gak perlu ngapalne teori tapi jebar-jebur bareng pelatihnya, lebih cepat pinter tentunya.

Agama ini diajarkan oleh Sang penutup Para Nabi dengan cara langsung amal dan dibimbing. Jadi kao sampeyan ustadz lalu melihat banyak orang awam melakukan amal, jangan digembosi. Tapi datangi, diewangi, sampaikan ilmu sampeyan kepada mereka agar saat mereka ngamal tidak salah dengan cara menemani, bukan ngrecoki. Bukan dengan cara "menyalahkan" tapi justru dengan cara "membenarkan".

Benarlah perkataan bahwa "ilmu itu sebelum amal". Namun banyak sekali ilmu yang cara menuntutnya dengan cara beramal. Sampeyan sebenarnya sudah tahu itu. Simbah cuma menuliskan.

Foto dicomot dari sini : https://twitter.com/veravuzy/status/216100108360617984

Sabtu, 22 Februari 2014

RESURRECTION

Resurrection ki opo tho jan-jane? Re : artinya kembali, surrection : artinya urek-urekan. Jadi resurrection itu kembali mbikin urek-urekan. Begitu kira-kira maknanya miturut G'dabroes Dictionary . Mengingat situs pitutur yang tadinya mati suri, dan kemudian ternyata akhirnya di euthanasia secara berjamaah oleh simbah dan Mr. Faraday (a.k.a Mr. Jauhari), maka kebutuhan untuk meletupkan uneg-uneg, simbah tumpahkan di blog baru ini.

Jika melihat untaian hurup K+D4, kebanyakan pembaca akan bertanya, mangsude opo itu? Apakah itu kode angka togel yang mau njedul minggu ini? Atau mungkin rumus kimia senyawa beracun mirip gas tawa? Agar tak penasaran, simbah mau jelaskan sedikit.

Hurup K tetep dibaca "Ka". Simbol '+' tetap dibaca "Tambah", sedang 'D4' dibaca dengan lidah londo blasteran pasar wedhus, sehingga terbaca "Dipo". Maka K+D4 akan terbaca menjadi "Katambahdipo" atau 'Kata Mbah Dipo'.

Blog ini mungkin tidak akan sama dengan blog sebelumnya. Mengingat kesibukan simbah, maka simbah membatasi hanya menulis yang pendek-pendek saja. Mengapa? Karena kalau menulis panjang, sing moco malah ngantuk. Yang nulis juga wegah kalo tahu bakalan cuma bikin ngantuk. Kecuali pembaca yang sudah kecanduan obat tidur, mungkin perlu simbah bikinkan blog semisal itu agar tak selalu ngunthal obat.

Apakah nantinya blog ini akan jarang update seperti sebelumnya dengan alasan simbah sibuk? Semoga saja tidak. Karena ternyata sibuk thok tanpa penyaluran hawa negatip berakibat penumpukan racun emosi. Dengan sedikit menyalurkan hawa racun lewat tulisan di blog, maka kesehatan otak simbah akan menjadi terjaga. Maka bagi para pembaca, jangan heran jika tulisan di blog ini akan sangat berhawa racun negatip. 

Dan tips dari simbah, janganlah blog ini dibaca sambil ngupil, apalagi disertai kili kuping. Jangan dibaca terlalu serius, masalahnya pasien stroke sudah terlalu banyak, sampeyan jangan ikut nambahi. Dan jangan dibaca jika gula darah anda tinggi secara persisten, karena bisa bikin katarak. Jangan dibaca sambil nahan kencing dan nahan boker, apalagi di warnet. Kasihan penjaga warnetnya jika harus disuruh nimpal limbah biologis sampeyan.
Selanjutnya, silakan dikomentari jika mau kasih masukan. Jika tidak ingin kasih masukan, ya komentari saja. Atau jika gak mau komentar, ya kasih aja komentar 'No comment'. Yang penting jari-jarinya ikut berperan secara bebas dan aktif, sebagaimana politik luar negeri Indonesia.