Beberapa hari yang lalu simbah ngajak anak-anak jalan-jalan sambil jajan
makanan kecil buat si thole dan si gendhuk. Saat itu anak-anak minta dibelikan
es krim. Dan kalau melihat betapa lahapnya anak-anak simbah makan es krim,
simbah jadi teringat masa kecil simbah, dimana untuk bisa menikmati yang
namanya es krim itu dibutuhkan satu mujahadah kelas wahid.
Sewaktu kecil simbah mempunyai seorang teman yang namanya Gudel. Terlahir
dari satu keluarga yang kisah hidupnya cukup memilukan. Bapaknya adalah kawan
dekat dari orang tua simbah. Rajin sholat ke mesjid, tapi matinya bunuh diri
dengan menggantung diri setelah tamat meminjam dan membaca buku yang berjudul
“Hidup
Sesudah Mati” karya Bey Arifin (kalau gak salah) dari orang tua simbah.
Aneh memang, padahal buku itu isinya bagus. Tapi kok bisa-bisanya menginspirasi
bapaknya Gudel buat gantung diri. Atau mungkin beliaunya mau membuktikan isi
buku itu. Tapi apapun alasannya, yang jelas si Gudel jadi anak yatim.
Kehidupan si Gudel jadi tidak mudah. Di kalangan anak-anak kecil seusia
simbah dia dijuluki
“tukang gresek”. Gresek, dengan hurup ‘e’ dibaca
seperti kata
‘pesek’, adalah satu perilaku yang dianggap ngisin-isini
bin memalukan. Kata itu mengandung maksud memungut sesuatu yang sudah dibuang
orang, kalau sekarang mungkin termasyhur dengan kata “Pemulung”.
Satu ketika, simbah dan Gudel menyaksikan beberapa anak sedang makan es
mambo. Karena sama-sama gak gableg duit, cukuplah kita berdua menyaksikan acara
makan es itu dengan seksama. Simbah lihat si Gudel sudah mulai terbit air
liurnya, mlongo menyaksikan pesta es itu dengan
terngowoh-ngowoh. Begitu
selesai makan es mambo, anak-anak itu segera membuang bungkus es tersebut.
Karena melihat si Gudel, anak-anak itu menginjak-injak bungkus es itu dengan
kasarnya, sambil berkata :
“eh, ayo diinjak-injak sampai ancur. Entar digresek sama Gudel lho,”
ajakan itu disambut dengan antusias. Herannya, setelah bungkus es itu
dinjak-injak sampai kotor dan ditinggal oleh pemiliknya, si Gudel tetap saja
mendatangi plastik es yang sudah
gak mbejaji wujudnya itu dan mulai
menyortir. Setelah dijumpainya ada beberapa bungkus masih agak
wangun
buat dikonsumsi, mulailah aksi penggresekan dilakukan.
“Weh, enak kang es yang ini. Sedep tenan……” katanya dengan mata
berbinar-binar sambil nyesep-nyesep plastik es mambo itu dengan penuh daya
eksplorasi. Hwarakadah…melihat wajahnya yang menyiratkan ekspresi kenikmatan
kayak begitu, terus terang simbah agak terangsang juga pingin mencicipi
hidangan gresek ala si Gudel itu. Tapi begitu teringat bahwa es itu sudah
dinjak-injak sama kaki si Koplo yang kakinya korengan itu, atau si Kenyung yang
sering nginjak telek lencung, hilanglah selera simbah.
Pernah suatu ketika, si Gudel ini melihat satu potongan roti yang masih
lumayan utuh. Kebetulan dia berjalan bersama rekan sejawat sesama penggresek.
Karena rekan sejawatnya gak lihat, dia injek dulu roti itu, lalu dia berdiri
tak bergerak. Rekan sejawatnya heran, kok si Gudel tiba-tiba diem mematung.
Karena jengkel ditinggallah si gudel. Begitu rekan sejawatnya nggeblas ngilang,
diambilnya lah roti itu dari bawah tapak kakinya sambil cengar-cengir penuh
kemenangan.
“Belum lima
menit..” begitu mungkin pikirnya sambil menyantap roti itu dengan
mantabhnya.
Yah, itulah gambaran sepotong keceriaan getir ala kere bin dhuafa. Salah
seorang teman simbah pernah melihat di stasiun
Jogjakarta, seorang ibu beserta anak
perempuannya yang masih berumur sekitar 10 tahun, asyik ngemis dari gerbong ke
gerbong. Kebetulan saat itu sang ibu ketiban rejeki nomplok yang tak terduga,
yakni nemu sepotong
tegesan bin puntung rokok yang mingsih lumayan
panjang. Yah setara dengan sepuluh sledupan wal sedotan lah. Diisepnyalah
tegesan itu dengan penuh citarasa. Yang mbikin hati agak miris adalah manakala
sang ibu berbagi puntung tegesan itu dengan anak perempuannya yang masih kecil
itu. Secara bergantian si ibu dan si anak
sledap-sledup ngisep rokok
tegesan itu dengan penuh keceriaan dan canda tawa.
Di masa kuliah dulu, simbah sering wira-wiri lewat di satu kontrakan masal yang
dinamai Pondok Boro. Penghuninya kebanyakan keluarga kere, kaum mlarat dan juga
beberapa waria. Saat itu simbah melihat langsung ada seorang bapak bertubuh
gothot, sedang menggendong anaknya yang masih berumur setahun lebih. Dilihat
dari perawakannya, propesi si bapak ini pantasnya pekerja keras. Kalau nggak
kuli angkut, tukang becak, atau minimal tukang kepruk. Herannya si bapak ini
mau momong anaknya yang saat itu nangis rewel mencari ibunya. Mungkin ibunya
sedang kerja di pabrik, atau sedang ada kesibukan darurat lainnya, yang memaksa
si bapak bertubuh gothot ini mau momong anaknya.
Yang mbikin simbah tersenyum kecut adalah, saat si anak gak mau diem dan
nangis terus mencari ibunya, si bapak mulai jengkel. Dengan tinju terkepal,
diancamlah anaknya yang masih kecil itu dengan kepalan tinjunya sambil berkata…
“Hayo, nangis lagi.. ayo cepet nangis lagi… jotos sisan kamu..!!”
hati ini jadi mak tratap. Ancaman si bapak itu diulang-ulang dan herannya
bapak-bapak yang lain disitu malah ketawa ngakak melihat ulah si bapak. Si anak
jadi ciut juga, lalu tangisnya ditelen sampai membik-membik mau tersedak.
Keluarga-keluarga kere wal mlarat yang simbah ceritakan ini benar-benar ada.
Bukan kisah cerita di sinetron. Kejadian itu telah ada bertahun-tahun yang
lalu, jauh sebelum bengsin menjadi enam ribuan ripis seperti sekarang. Entah
bagaimana kabarnya sekarang. Si gudel seingat simbah sudah mati muda. Simbah
lupa kejadian kematiannya. Anak perempuan yang berbagi tegesan itu sekarang
kalau masih hidup, pastilah sudah dewasa. dan anak bayi yang diancam jotos oleh
bapaknya itu, simbah yakin sudah seusia Sherina, dengan nasib yang tentu saja
tak seberuntung artis muda itu.
Dengan kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini, simbah yakin keluarga
ala Gudel itu masih banyak. Walaupun ada juga yang bilang, dengan bengsin
seharga sekarang ini, jumlah rakyat miskin jadi berkurang. Entah statistik dari
mana yang mengatakan ini. Asumsi ini masuk akal, jika yang dimaksud kemiskinan
berkurang itu adalah dikarenakan rakyat miskin wal mlarat itu pada modiyar
semua karena gak kuat melanjutkan hidup.
Kita terbiasa hidup di komunitas yang berkecukupan. Tetangga kiri kanan
semuanya keluarga mampu. Teman kantor, teman kerja, semuanya warga borju.
Sehingga dianggapnya, yang namanya kemiskinan itu cuma rekayasa, tidak
benar-benar ada. Kalaupun ada itu masa lalu.
Ada sebagian
dari kita yang tahu, bahwa kemiskinan itu ada. Tapi sayangnya kemiskinan itu
lantas hanya dijadikan komoditi. Kemiskinan adalah modal buat menarik simpati
untuk mencari suara. Masing-masing bendera menyuarakan ingin membela rakyat
kecil. Biasalah, gabrulan
lima
tahunan. Dibela setahun, diinjek empat tahun. Rakyat miskin makin terinferior.
Makin kere, tidak hanya lahiriah tapi juga mental. Makin nggedhibal pitulikur.
Simbah hanya bisa berdoa dan berusaha semampu simbah, agar tidak ikut
tenggelam di kapal yang dibocori rame-rame ini. Sambil berharap, ada yang mau
menambal kebocoran itu dan menyadarkan para pembocor kapal itu akan kebodohan
tindakannya.