Sabtu, 12 April 2014

Perokok Pasif Lebih Bahaya?

Bulan lalu simbah ngobrol santai dengan salah seorang teman yang menjadi pegawai di perusahaan tempat simbah bekerja. Beliau menceritakan ihwal ujian skripsinya yang kala itu meneliti tentang bahaya rokok. Penelitiannya menggunakan tikus percobaan, dengan model penelitian dilakukan di lab.

Ketika ujian, seorang penguji mengajukan pertanyaan:
"Fakta di lapangan, perokok pasif itu memiliki resiko terkena penyakit lebih besar daripada perokok aktif. Kalo begitu bagaimana menurut anda? Menjadi perokok aktif ternyata lebih sehat..."

Teman simbah bercerita, saat itu dia berpikir keras. Dan jawaban yang harus disampaikan harus jitu. Percuma saja meneliti bahaya rokok jika ternyata dengan merokok lebih sehat dibandingkan dengan orang di sekitarnya.

"Saya tidak setuju dengan pernyataan bapak," kata teman simbah.
"Kenapa tidak setuju?" tanya penguji.

"Begini pak. Seorang perokok aktif, itu tidak mungkin hanya perokok aktif saja. Karena asap yang dia hisap lalu dikeluarkan itu dihisap lagi. Kan dia masih berada di tempat dia merokok. Kecuali dia merokok lalu asapnya dimasukkan kaleng lalu ditutup, maka dia hanya perokok aktif. Kalau tidak, maka dia perokok aktif sekaligus perokok pasif. Maka resiko terkena penyakitnya lebih besar." terang kawan simbah tersebut.

"Betul juga kamu ya...." sang penguji puas dengan jawaban tersebut. Dan teman simbah lulus tanpa perbaikan dengan nilai memuaskan.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada yang namanya perokok aktif murni. Perokok aktif biasanya juga sekaligus perokok pasif.

Selasa, 01 April 2014

Es Pe

Adalah si Paidul, karyawan sebuah pabrik kathok kolor, sudah tiga hari tidak masup kerja tanpa adanya sura keterangan sama sekali. Maka ketika dia masuk, sang Bos pabrik marah besar dan menegur kelakuannya. Si Paidul diam tertunduk, dia merasa bersalah dan minta maaf pada sang Bos. Si Bos mau menerima permintaan maafnya. Namun agar kelakuan si Paidul tak terulang, si Bos kasih Surat Peringatan alias SP pertama.
Pabrik kathok kolor si Bos memiliki 3 SP yang jika sampai SP ketiga perilaku karyawan tak berubah, maka perusahaan berhak memecat si karyawan tanpa uang pesangon. Mendapat SP satu, Paidul bukannya sadar malah nggrundel.

"Ha wong kita lagi ada perlu, mosok gak boleh absen," gerutunya. Padahal yang dimasalahkan si Bos bukan masalah keperluan si Paidul, namun tidak adanya ijin pemberitahuan itu yang menjadi masalah. Jika ada pemberitahuan, sebenarnya si Bos bisa memaklumi.

Seiring berjalannya waktu, si Paidul bukannya makin tertib namun malah tambah gak karuan. Suka ngilang di jam kerja, suka telat dengan beragam alasan, dan akhirnya dipanggil Bos lagi. Turunlah SP kedua. Paidul tambah dongkol. SP kedua bukannya menyadarkan tapi malah makin bikin brutal. Akhirnya turunlah SP ketiga, dilanjutkan skorsing tanpa gaji selama sebulan. Diharapkan si Paidul mau berubah dengan hukuman tersebut.

Namun apa mau dikata, setelah SP ketiga dan skorsing, Paidul makin berani dengan Bosnya. Makin terang-terangan menentang aturan, dan makin tidak mau diatur. Akhirnya turunlah SK pemecatan tidak hormat tanpa pesangon.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya Allah swt seringkali memberikan SP kepada kita. Batas jumlah SP nya tak terbatas hanya tiga, bisa puluhan, ratusan bahkan ribuan. Allah lebih sabar dibandingkan Bos pabrik kathok kolor. Hanya saja kendablegan manusia seringkali lebih parah daripada si Paidul.

Sebut saja kang Dimpil, perokok kelas kakap. Sudah batuk 3 bulan gak berhenti. Foto ronsen menunjukkan tumpukan nikotinnya sudah brutal. Dinasehati dokter agar berhenti merokok, namun gak digubris. Jatah sehari 3 bungkus tak berkurang kuotanya. Dia beralasan, "Tembako itu kan diciptakan Allah untuk dimanfaatkan. Yang penting baca bismillah sebelum udud kan selesai. Kalo masalah mati, semua pasti mati. Kita jalani saja takdir kita."

Sebulan kemudian batuk kang Dimpil makin parah, bahkan disertai sesak nafas. Hasil foto ronsen terakhir menunjukkan ada kanker. Namun kang Dimpil gak mau terapi. Dokter mengingatkan bahwa kankernya bisa nyebar ke leher sehingga berpotensi mengganggu jalan nafas dan makanan. Namun ancaman penyakit di depan mata hanya mampu mengurangi kuota rokok cuma sebungkus, sehingga sehari tetep habis 2 bungkus.

Dua bulan berikutnya, kanker kang Dimpil mulai menyerang. Makan gak bisa, nafas kesusahan. Maka dibuatkan satu lobang di leher agar bisa bernafas lewat lobang itu. Sedangkan makan harus cair agar bisa ditelan. Hebatnya, lobang kecil di leher buat bernafas itu pun masih saja dijejeli udud untuk menghabiskan kuota udud yang sudah berkurang menjadi sebungkus. Masih dengan keyakinan sama, baca bismillah dulu, maka penyakit nyingkir.

Setengah tahun kemudian, kang Dimpil kena stroke. Makan harus lewat selang di hidung, nafas pakai lobang di leher, dan baru bisa berhenti udud. Bukan berhenti, namun dihentikan keadaan. Mungkin dalam hatinya kang Dimpil ya misuh-misuh gak bisa udud. Sementara kankernya makin mengganas kemana-mana. Dan yang bikin makin kasihan, kok gak mati-mati. Sehingga detik demi detik dilewati penuh siksaan.

Setelah genap tiga bulan, kang Dimpil wafat. Kematiannya tidak disambut tangisan sedih. Justru yang ada seluruh anggota keluarga lega, akhirnya kang Dimpil bisa mati juga. Karena saking kondisinya sudah menyedihkan, tapi kok gak mati-mati.

Kang Dimpil adalah tokoh yang sangat teguh dengan kendablegannya, sehingga SP dari Allah dikirim berulang-ulang tak digubris. Dari sejak SP batuk mengguk, SP sesak nafas, SP kanker, SP trakheostomi bikin lobang nafas, hingga SP stroke semua dipahami bukan akibat dari udud. Bahkan ketika "SP gak bisa udud" diturunkan pun disambut dengan misuh-misuh dalam hati.

Manusia, ahli medis, pemerintah dan masyarakat hanya mampu bikin SP (baca: peringatan) di bungkus rokok. Namun keputusan ada di tangan perokok, mau dikasih berapa SP. Ada yang baru SP satu berupa batuk mengguk sudah ngeh dan langsung paham. Ada juga versi tangguh bin dableg ala kang Dimpil yang nlyedubh udud hingga tarikan nafas penghabisan.

Btw, tulisan: "Merokok Membunuhmu" di kemasan rokok itu sebenarnya lebih banyak memberi efek kocak daripada efek sangar. Orang akan menjawab ala jawaban kang Dimpil, "Kalo sudah takdirnya mati ya mati saja." Tulisan yang dulu sebenarnya sudah memadai. Masalah bikin takut atau tidak itu urusan pribadi masing-masing.

Kendablegan ala kang Dimpil sebenarnya tidak hanya di kasus rokok. Dalam hal jaga makan bagi penderita kolesterol dan diabet juga berlaku. Atau bagi pelaku maksiat. Allah senantiasa kirim SP secara berkala. hanya saja SP yang turun sering tak terbaca hingga tidak digubris. Hingga akhirnya turun SP pamungkas.....