Rabu, 26 Agustus 2015

Plu Celeng

Salah seorang kawan simbah yang biasa blayangan ke njaban rangkah seringkali membandingkan kondisi sanitasi lingkungan di Indonesia, khususnya di Daerah Khusus Ibukota mBetawi dengan negeri-negeri yang konon maju macem Singapura, Hong Kong, mBeijing dll.

Tak bisa dipungkiri, kekemprohan warga mBetawi Raya ini memang sangatlah mblondrok sekali. Dengan anggunnya kekemprohan itu diperagakan melalui aliran sungai yang lebih tepat disebut The Giant Comberan. Atau melalui gunungan sampah yang dirubung laler dan belatung beraroma jumbleng. Atau kelakuan warga yang seenaknya ngidu wal meludah sak karepe jidat, atau mbuang ingus yang mungkin berpirus, atau mbuang hajat seenak pantat.

Selalu dan selalu sang kawan berkomentar, dengan beragam komentar melihat perilaku kemproh dan tidak disiplin warga mBetawi yang barusan ulang tahun ini. Misalnya :

“Wah, kalo di Singapur, ngidu kayak preman itu sudah didenda sekian dollar tuh.” katanya saat melihat preman ngidu nggilani yang didahului bunyi khoak-khoek yang meneror sistem antimuntah kita.

“Lhadalah, lha kali kok nggilaninya ngudubilah setan. Kayak gitu kok buat ciblon adus plus umbah-umbah. Opo gak gudigen orang-orang itu. Lhah, itu malah kumur-kumur buat gosok gigi… jian kumuh temen..” katanya saat melihat asiknya komunitas pengguna air Ciliwung yang sedang memanfaatkan hitamnya air Ciliwung untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Simbah sendiri juga lumayan gumun. Rumah simbah sendiri deket dengan perkampungan sampah. Dimana lahan sampah berhektar-hektar dihuni oleh ratusan rumah yang mengelilinginya, dan mereka mendapat penghidupan dari sampah. Jika lewat area situ, lobang hidung orang sehat tak akan betah terbuka lama-lama. Pasti langsung ditutup. Karena jikalau tidak, aroma badeg berkekuatan 3 megaton enthut mberut akan segera menghantam hidung sampeyan jika lewat situ. Namun herannya warga situ malah tinggal dengan nyaman dan sentausa. Seringkali simbah lihat orang-orang pada ngopi di areal yang badegnya bikin tobat nasuha itu dengan nyaman dan tentram.

Lebih mengherankan lagi, penyakit yang menghebohkan dunia justru tidak datang dari lingkungan mereka. Plu Genjik alias Plu Celeng atau plu apalah itu namanyah, justru berkembang biak dari negeri bersih kempling yang dipuji-puji karena kedisiplinan kebersihannya. Plu menghebohkan itu tumbuh subur di negeri yang jika meludah sembarangan saja didenda. Justru tidak datang dari negeri yang warganya jika mbenjret di pojokan terminal, bukannya ditegur, tapi malah ditambahi gunungan mbenjretannya.

Salah seorang tokoh yang diklaim sebagai ahli hikmah mengatakan, bahwa kekemprohan batiniah efeknya lebih menakutkan dan mematikan daripada kekemprohan lahiriah. Kekemprohan lahiriah menimbulkan penyakit lahiriah saja. Sedangkan kekemprohan batiniah, selain menggerogoti kesehatan batiniah, akan menggerogoti kesehatan lahiriah secara akut. Buktinya ya peristiwa plu celeng ini.

Sebersih apapun kotanya, karena kelangenannya ngemplok celeng yang diharamkan Yang Mencipta Celeng, maka didatangkanlah musibah beruntun yang berasal dari celeng. Bukan hanya plu yang bisa dicangking sang celeng. Sejarah mencatat sekian parasit, bakteri dan virus bercokol dengan mantabh di binatang kelangenannya penikmat kuliner haram itu.

“Lho mbah, kalau begitu sampeyan hendak membela kekemprohan jasmani warga kumuh yang kebanyakan muslimin itu? Jadi apakah miturut simbah lebih baik kemproh mambu tapi sehat daripada bersih kempling tapi sumber penyakit maut?” mungkin itu yang menjadi pertanyaan sampeyan saat membaca tulisan simbah.

Lhadalah, bukannya kita sudah diajarkan bahwa kita harus menjaga kebersihan jasmani dan rohani. Kalau masih kemproh, berarti Islamnya belum kaffah. Kalo masih mbenjret sembarangan, berarti ada unsur kapirnya disitu, dalam artian kapir terhadap nikmat Allah. Bukan kapir yang mengeluarkan dari islam, tapi kapir yang menghina keindahan ajaran Islam yang mengajarkan kebersihan jasmani.

Hanya saja simbah ingin menunjukkan, kerusakan akibat kekemprohan ruhani itu memang lebih merusak dari kekemprohan jasmani. HIV AIDS, plu celeng, bahkan plu burung yang akhir-akhir ini ditakuti, lahir dari permisivitas terhadap larangan Sang pencipta. Walaupun derivatnya tidak selalu begitu. Derivat penderitanya lahir karena mendiamkan kenyataan bahwa yang haram dibiarkan diterjang tanpa ada tindakan mencegah dan menasehati. Semuanya karena kebebasan. Bebas mau ngemplok yang haram atau halal. Toh tidak ngganggu hak orang lain, itu kata mereka.

Tidak!! Semua perbuatan haram, walaupun dilakukan ditengah hutan sendirian, atau di Kutub selatan sendirian, pasti akan berdampak pada orang lain. Tak ada maksiat yang tak berdampak pada orang lain. Lantas kalo begitu, kita mau diam saja membiarkan yang haram dinikmati setiap hari dengan alasan tak mengganggu hak orang lain? Genjik bin babi, aurot binti syahwat dan setumpuk barang haram digelar didepan sampeyan. Tak usah bertaruh apakah musibah akan datang lagi dari kemaksiatan. Karena selamanya orang yang ‘pinter-pinter’ itu tak akan menemukan korelasi antara maksiat dan adzab. Kalo ketemu korelasinya, mereka sudah tobat dari dulu….

Kiamat

“Kapan Kiamat datang?” tanya Kang Harjo Linthing.

“Yo embuh,” jawab Lik Giman Mbako. “Gak ada yang tahu itu, kecuali Gusti Allah.”

“Halah, sebentar lagi kiamat juga dateng, biasanya datengnya bareng nyi amat,” sahut Kadi Semprul sambil nglekar. “Kalo nggak percaya silakan ditunggu deket lincak situ..hehehe..”

Glodakk..!! Kadi Semprul bablas njlungup didhupak Kang Harjo Linthing.

“Dapurmu kuwi, ditanya serius malah njawabnya ngomyang,” bentak Kang Harjo Linthing.

Kejadian di atas adalah fiktif. Nama dan tokohnya juga fiktif. Tapi percakapan model di atas pernah terjadi. Kalo di dunia pilem, biar mengangkat temanya jadi lebih riil, di posternya diembel-embeli “Diinspirasi oleh Kisah Nyata.”

Melihat bertubi-tubinya bencana datang silih berganti, beberapa orang yang mengaku memiliki daya linuwih mulai mengeluarkan statement yang nganeh-nganehi. Topik bahasannya adalah tentang Kiamat, bukan Ki Amat suaminya Nyi Amat. Entah demi mengatrol namanya di dunia perparanormalan, atau demi embuh ra weruh, tiba-tiba muncullah ramalan-ramalan yang memprediksi datangnya saat kiamat.

Saat Ramadhan kemarin anak simbah yang mbarep bertanya, “Pak kata bu guru, kiamat itu terjadi nanti tahun 2020. Apa bener itu pak?”

“Wah, gurumu salah le. Dapet info darimana itu? Wong molekat Jibril dan Kanjeng Nabi saja nggak tahu. Yang tahu hanya Allah le,” jawab simbah.

Tak kalah ramenya, topik kiamat ini juga diangkat oleh dalang-dalang pilem Holiwud spesialis pilem disaster macem dalang pilem The Day After Tommorow. Judulnya 2012, yang menggambarkan datengnya kiamat ala Holiwud. Apa dasarnya menetapkan angka 2012 gak jelas, tapi ada dalang pilem lain yang mbikin pilem dijuduli Doomsday 2012. Kayaknya ada sesuatu di angka 2012 ini.

Padahal di tahun 1999 kemarin, tukang otak atik angka juga sempat bikin heboh dengan ramalan bahwa kiamat akan terjadi tanggal 9 bulan 9 tahun 99. Dan ternyata saat tanggal itu lewat, “Dunia Belum Kiamat”. Untung saja gak ada penjahat segila David Quraisy ..eh. David Koresh yang ngajak bunuh diri rame-rame di hari yang diramalkan kiamat itu.

Tema kiamat memang tema yang menarik. Banyak orang yang berusaha mengambil untung dengan tema ini. Korbannya adalah orang yang tak paham perihal kiamat. Ataupun kalo ngaku paham, ternyata salah paham. Banyak isu bisa diusung dari tema kiamat, yang dapat diambil keuntungan duniawinya.

Isu Imam Mahdi menjelang kiamat, dipakai segolongan orang buat melegitimasi ketokohan dirinya dilambari hadits gathuk enthuk buat menguntungkan diri. Mulai dari isu satrio piningit, Lia Eden, dan tokoh-tokoh mitos bikinan dalang maupun empu yang sebenarnya penyalahgunaan hadits Imam Mahdi demi kepentingan golongan dan kelompoknya.

Tak kurang munculnya Dajjal dengan segala versi tafsir beserta turunnya Nabi Isa as, menjadi komoditi buat mengeruk keuntungan dan seringkali dipakai buat memukul golongan lain yang tak sepaham. Jika kebetulan gak cocok sama Sekubidu, maka dianggaplah Sekubidu itu Dajjal. Kalo cocok sama Minimos, maka disanjunglah Minimos habis-habisan dan diangkat menjadi nabi Isa sekaligus Imam mahdi walaupun Minimos itu jelas-jelas wedhok. Bahkan fenomena alam yang sebenarnya alami, karena tak paham, ditapsir macem-macem. Mulai dari tapsir markas jin sampai markasnya dajjal diwedar dan diluncurkan. Hal beginian merupakan menu lezat pecinta hal yang berbau sensasi. Makin sensasional makin nyamleng. Hingga akhirnya yang kurang sensasional nggak laku. Ujung dan kesensasionalannya adalah menyebut angka pasti tahun terjadinya kiamat.

Bagi yang berilmu, sebutan yang paling tepat bagi hal beginian cuma satu : “Kurang Gaweyan.” Bagi yang berilmu, yang penting bukan kapan terjadinya kiamat, namun yang terpenting adalah kesiapan bekal. Bagi yang sibuk menyiapkan bekal, tak ada waktu buat mikir kapan datangnya kiamat. Karena kesibukan menyiapkan bekal buat kiamat tak memberi waktu baginya buat aktifitas yang berjudul “Kurang Gaweyan” ini.

Bagi orang yang luang waktu dan tak merasa perlu untuk sibuk menyiapkan bekal buat kiamat, waktu kapan terjadinya kiamat dirasa lebih penting buat dibahas daripada menyiapkan bekalnya.

Saran simbah, di tengah banjir bencana yang ada. Tetaplah fokus nyari bekal buat akherat. Galang dana buat yang membutuhkan adalah salah satunya. Dan tak perlu meributkan kapan kiamat datang. Jika sampeyan tak peduli nyari bekal buat kiamat, maka saat itulah kiamat sampeyan sudah datang.

Apa Atawa Bagaimana..?

Belum lama ini simbah menyaksiken satu acara di tipi tentang seni menyantap sushi. Makanan ala Jepang dan nJepangi banget ini ditayangkan dengan penuh seni. Simbah sebut nJepangi karena sesuai dengan karakter orang Jepang yang serba kemrungsung, sampai-sampai yang namanya makan gak nunggu dimasak. Pokoke langsung santlap. Mak nyuk…

Yang makan pun keliatan mantabh. Padahal yang namanya ikan laut, jangankan mentah, yang sudah mateng saja kadang amisnya masih nempel di tenggorokan. Maka simbah berusaha mendalami, bagaimana orang-orang Jepun itu bisa menyantap daging ikan yang amis itu dengan penuh kenikmatan

Lain sushi lain lagi dengan jengkol. Makanan tradisional yang aromanya berpotensi memancing keusuhan ini termasuk makanan yang masih susah simbah mengerti mengapa disebut lezat oleh penggemarnya. Bahkan bibi simbah sendiri dan sebagian anggota keluarga simbah menjadikan jengkol ini sebagai cemilan wal snack di saat senggang. Tapi simbah yakin, jika mau belajar menikmati pasti akan ketemu juga titik kelezatannya.

Sebagaimana saat simbah masih kecil dulu, tersebutlah makanan berbahan organik yang kluget-kluget di dasar akar pohon Turi berjuluk “Gendhon”. Gendhon adalah makhluk ra mbejaji berwujud seperti ulat gemuk, penuh lemak dan protein, serta konon menurut Kadi bisu -seorang konco angon simbah- merupakan sumber gizi yang ngedhab-edhabi. Sehingga kalo nemu makhluk berjuluk Gendhon ini, tiba-tiba konco-konco dolan simbah langsung menggelar acara kuliner ekstrim berbahan baku ulet berprotein tinggi itu. Maap aja, walaupun agak mlarat simbah tetep gak doyan makan Gendhon goreng itu. Meskipun konco-konco simbah ngiming-imingi dengan penuh demonstratip makan temblang-tembleng di depan simbah.

Kedoyanan dan ketidakdoyanan pada makanan-makanan tersebut oleh orang banyak disebut selera. Agak susah dimengerti memang dengan kata yang namanya “selera”. Karena secara anatomis, yang namanya lidah manusia itu sama saja. Letak syaraf-syaraf pengecapnya tak berbeda. Letak titik gurih, asem, manis, asin, pahit, cemplang, dan lain-lain, semuanya sama. Namun tiba-tiba satu makanan yang sama menghasilkan rasa yang berbeda pada individu yang berbeda.

Lantas jika ada yang muntah di tempat gara-gara bau duren, apakah pasti karena durennya? Padahal ada juga yang sledap-sledup dengan mantab menyedot aroma duren ini dengan sentausa dan malah ketagihan. Malahan kalo habis nyantap duren sebiji, kulitnya ditaruh dibawah amben tempat tidur karena ingin kamarnya beraroma duren.

Kesimpulannya: kenikmatan segala sesuatu terletak bukan pada “apa”nya yang dinikmati, tapi justru kenikmatan itu tergantung pada yang menikmati. Karena tergantung pada yang menikmati, maka kenikmatan itu terletak pada “bagaimana” menikmatinya. Pada subyek dan bukan pada obyek.

Pertanyaannya, bisakah kita belajar menikmati? Jawabannya : karena kenikmatan itu tergantung pada “bagaimana” cara menikmatinya, maka tentu saja bisa dipelajari. Tergantung kita mau apa tidak. Kalau mau, pasti ada jalan.

Dari sini seharusnya kita bisa menggladrahkan pikiran kita ke apa saja yang bisa dinikmati. Misalnya kekayaan. Kalau tak tahu bagaimana menikmatinya, maka kekayaan akan mendatangkan musibah. Kekayaan bisa terasa nikmat manakala orang paham bagaimana menikmatinya. Namun yang terjadi adalah banyak orang menyangka kekayaan itu nikmat bukan pada “bagaimana” nya. Banyak orang yakin kekayaan itu nikmat karena terletak pada “apa”nya. Sehingga yang tertanam pada diri kebanyakan orang, kekayaan itu nikmat karena kayanya itu.

Dari sini juga muncul pemahaman bahwa kemiskinan tak bisa dinikmati. Kalau kenikmatan itu tergantung pada “bagaimana” cara menikmatinya, maka pada semua kejadian seharusnya bisa dinikmati, termasuk kemiskinan. Tapi kita sudah lama dicekoki bahwa kenikmatan terletak pada “apa” yang dinikmati. Pada obyeknya. Jika jidat sampeyan konsekwen dengan pemahaman ini, maka seharusnya duren dan jengkol itu pasti nikmat bagi seluruh lidah spesies yang bernama manusia karena secara anatomis sama. Nyatanya tidak. Lalu muncullah kosa kata “selera” yang sebenarnya mendukung fakta bahwa sampeyan meyakini kenikmatan itu terletak pada “bagaimana”, pada subyek dan bukan pada “apa” yang dinikmati.

Kanjeng Nabi saw pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman. Seluruh keadaannya, baginya semuanya baik. Jika menerima kenikmatan lalu bersyukur, maka baik baginya. Jika menerima musibah lalu sabar, maka baik baginya. Dan tidak akan begini, kecuali mereka yang beriman saja.”

Maka kebaikan tidak terletak pada “apa”, tapi terletak pada “bagaimana” menyikapi. Karena sifat hipokrit kita, maka kita meletakkan kebaikan, kenikmatan, dan kebahagiaan pada “apa”, dan bukan pada “bagaimana”. Maka muncullah anggapan bahwa bahagia itu kekayaan, sukses itu pangkat, kenikmatan itu rumah mewah, keberhasilan itu karir mantabh, cemerlang itu gaji sembilan digit, dlsb.

Orang tak bisa memahami bahwa pada kemiskinan ada kebaikan, pada kekurangan ada kebaikan, pada musibah ada kenikmatan, pada bencana ada keberhasilan. Padahal semua tergantung pada “bagaimana” nya, dan tak bergantung pada “apa”nya. Namun kita menganggap tak ada kosa kata selera disini. Seakan semuanya absolut. Ketahuilah, sampeyan diglembuki sama setan kalo begitu.

Perjalanan Hidup

Pagi ini simbah menemui roti yang disimpen di lemari mulai berjamur. Masih sedikit memang, tapi alamat roti itu harus segera dihabiskan. Simbah inget wejangan salah seorang ulama tentang cerita sepotong roti. Sepotong roti yang siap kita santap itu sebenarnya telah mengalami perjalanan panjang sebelum menjadi roti. Bahkan sekian ribu tangan terlibat di dalam pembuatannya.

Sebagaimana diketahui, komponen bahan roti setidaknya adalah gandum, mentega/margarine, telor dan pengembang. Cerita tentang gandum saja sudah melibatkan ribuan tangan. Petaninya, penjualnya, distributornya sampai industri pengolahannya. Belum cerita tentang telor, pasti akan melibatkan petaninya, industri pakan ayam, pembibitan ayam, distribusi telornya, hingga penjualan ecerannya. Intinya sepotong roti yang kita makan itu telah melibatkan banyak tangan sampai akhirnya menjadi roti yang siap santap di depan kita.

Itulah gambaran individu manusia. Kita hidup dibentuk oleh perjalanan hidup kita. Manusia memandang hidup sesuai dengan apa yang sebelumnya dia baca, dia lihat, dia alami, dan dia rasakan. Dari sinilah nantinya ilmu kejiwaan dapat membaca profil dan karakter seseorang.

Ketika seseorang ngeciwis dan ngomyang ngalor ngidul bahwa yang namanya perkawinan itu tidak perlu, karena cinta tidak perlu dilembagakan, maka itu tercetus dari apa yang dia alami, dia baca dan dia rasakan. Bisa saja dikarenakan bacaan-bacaan yang dia lahap adalah bacaan model gituan. Atau dia pernah mengalami perkawinan yang menyeramkan, dimana suaminya kejem dan suka njotosi isterinya, atau isterinya matre nggrogoti duitnya. Atau dia pernah kawin cerai sepuluh kali, dimana di awal perkawinan si suami atau isteri bilang ai lop yu, tapi begitu cerai yang muncul kata bajinguk dan pelacur. Atau mungkin memang si oknum ini suka free ***, ngecer-ngecer lendir sak nggon-nggon, atau wanita yang suka ngobral dalan bayek, sehingga perkawinan itu gak perlu. Yang jelas golongan orang ini jarang atau memang gak pernah diberi kesempatan melihat keluarga bahagia yang diikat dengan tali perkawinan yang syah.

Simbah pernah denger omongan yang menyatakan bahwa, “Di jaman ini gak mungkin hidup tanpa riba. Kita butuh riba dan harus mau menjalankan riba, barulah ekonomi bisa berjalan.” Orang yang ngomong ini kebetulan segala segi hidupnya ditopang oleh kredit berbunga. Rumahnya, motornya, mobilnya, bahkan segala perabot rumah tangganya, dibiayai dengan kredit berbunga dengan jangka waktu tertentu. Dia gak bisa membayangkan orang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa kredit berbunga. Gak masuk nalar dia, karena itulah yang dia alami, dia lihat dan dia rasakan berpuluh-puluh tahun, sehingga hampir menjadi satu ideologi. Dia terhalang dari kenyataan hidup bahwa beribu-ribu bahkan berjuta manusia, bisa punya motor, rumah, mobil ataupun perabotan rumah tanpa kredit. Bukan orang kaya, bukan konglomerat, bahkan mlarat ngempet, tapi hidup jauh dari kredit berbunga alias riba.

Itu jugalah yang mendasari seseorang bilang bahwa nikah tanpa pacaran dahulu adalah imposible, polygami bisa bahagia adalah dusta, Al Qur’an mengatur negara adalah mimpi, ustadz bisa hidup tanpa menerima amplop adalah nonsens, dan setumpuk omongan lainnya, macem lokalisasi adalah perlu karena pelacuran gak bisa diberantas, dan perjudian gak bisa dihilangkan.

Sayangnya, apa yang dialami, dibaca, dlihat dan dirasa oleh individu-individu di negeri ini cenderung menuju ke arah yang bertentangan dengan aturan Sang Pencipta. Maka satu generasi ke depan ini nanti, akan semakin banyak omongan-omongan yang ngalor ngidul, semakin bengkok dan sak karepe dewe.

Satu sabda Nabi menunjukkan bahwa Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya. Jika seseorang memandang dan yakin bahwa cari makan yang haram saja susah apalagi yang halal…. maka seumur hidupnya akan dipersulit sama Yang Maha Pemberi Rejeki untuk mendapat barang halal. Jalan rejekinya selalu dikasih dari jalan haram.

Jika seseorang yakin bahwa kita hidup tak bisa terlepas dari riba alias kredit berbunga, maka seumur hidupnya akan dibikin begitu sama yang Ngecat Tomat. Jika seseorang yakin perjudian gak akan bisa diberantas, maka selamanya dia tidak akan mendukung diberantasnya perjudian. Bahkan ketika dikatakan padanya bahwa judi sudah berhasil diberantas, tetep saja tidak akan percaya. Malah akan dia bikin lokalisasi judi yang isinya dia sendiri.

Bagi kebanyakan orang, pandangan, keyakinan, dan pendapatnya turut dibentuk oleh perjalanan hidupnya. Dari apa yang dilihat, dirasa, dibaca, dan dialami. Hanya seseorang yang memiliki keyakinan yang kokohlah yang memiliki pendapat, keyakinan dan pandangan hidup yang tidak terpengaruh oleh perjalanan hidup. Justru perjalanan hidupnya akan dibentuk dan dialami sesuai dengan pemahaman dan pandangan yang dia yakini.

Husnuzhon

Beberapa kali simbah ikut Jum’atan akhir-akhir ini, sang khatib hampir selalu membahas yang namanya bencana alam yang sedang menimpa beberapa daerah di tanah air. Gaya dan karakter materinya hampir sama, yakni memvonis korban. Hampir semua penceramah, tidak hanya di khutbah, membahas bencana yang terjadi sebagai adzab yang dikirim Allah. Yang sekaligus tersirat makna bahwa korban bencana alam adalah pihak yang pantas dihukum. Apalagi ada kyai mengaitkan jam terjadinya yakni pukul 17.16 dengan nomer surat dan ayat dalam Al Qur’an, yakni surat 17 (Al Isra) ayat 16. Wah.. ini mah gaya gathuk enthuk. Setali tiga duit sama dukun klenik.

Simbah kadang mencoba memposisikan diri seandainya simbah korbannya, pasti sangat sakit jika di saat kehilangan harta benda, sanak family, lalu tiba-tiba divonis dengan perkataan, “Emang pantes diadzab elo pade.” Dan ngomongnya di depan mimbar, didengar ratusan bahkan ribuan orang.

Satu contoh kasus saja, sewaktu di jalan raya mendadak ada pemuda sok jagoan bergaya bromocorah, naik motor dengan ugal-ugalan bak orang buta warna, karena lampu merah diterjang seenak udel. Dasar lagi apes atau memang hukum sebab akibat berlaku, tiba-tiba ban depannya nggiles muntahan orang gila dan keplesetlah si jagoan bromocorah tadi dengan mantabhnya. Sudah wajahnya nyungsep di parit, motornya babak bundhas lagi. Dalam kondisi seperti itu saja yang paling bijaksana adalah memberikan pertolongan dengan segera. Karena kalo tidak, sang korban bisa-bisa mati ngenggon (di tempat). Masalah akhirnya si pemuda itu nantinya dinasehati, itu entar ajalah. Tapi tentu saja nasehat diperlukan, biar nantinya tidak ugal-ugalan.

Padahal sebenarnya bencana yang menimpa ini merupakan ujian BAGI SEMUA. Bagi yang kena musibah Allah ingin menguji seberapa sabar hamba-Nya menanggung ketentuan yang Dia tetapkan. Mengeluh apa tidak dengan jatah yang diberikan-Nya, kufur apa tidak dengan adanya nikmat yang masih Allah berikan di tengah bencana tersebut, dan sederet pertanyaan ujian yang ingin dilihat Allah jawabannya dari orang yang diuji-Nya.

Sedangkan bagi kita yang tidak kena musibah, kita diuji bagaimana respon kita kalau saudaranya kena musibah, mau mbantu apa kagak, mau menenangkan apa menyalahkan, mau meringankan apa malah memberatkan? Ujian Allah itu ditunggu jawabannya dari kita yang masih terhindar dari bencana. Kalau gagal ujian, tidak menutup kemungkinan justru berikutnya kita tidak diuji dengan “selamat dari bencana”, bahkan mungkin kitalah yang akan diuji dengan “ditimpa bencana”.

Cobalah berhusnuzhon dengan berbaik sangka pada saudara kita yang terkena bencana. Caranya bisa bermacam-macam, asal jangan langsung memvonis kalo bencana yang menimpa merupakan kiriman adzab. Ini menyebabkan yang mau nyumbang jadi males. Lah gimana mau simpati mau mbantu kalo korbannya dicap sebagai orang yang pantas dihukum?

Saat ini simbah hanya bisa berhusnuzhon bahwa ini adalah jalan yang diberikan Allah untuk memberikan derajat syahid bagi saudara-saudara muslim yang kematiannya menurut hadits shahih bisa masuk kategori syahid, yakni mati tertimpa. Tentu saja yang mati lagi nyabu di diskotek trus ketimpa sound system sampai duut van modiyar nggak termasuk kriteria ini. Yang jelas mari kita bantu saudara kita yang tertimpa bencana sebagai jawaban ujian Allah bagi kita. Biar saudara kita yang tertimpa bencana bisa menjawab ujian Allah dengan kesabaran mereka dengan support bantuan dari kita.

Pagar Moral

Adalah Kang Mondhol dan Kang Jebol (bukan nama sebenarnya), dua orang sohib simbah di masa co-ass yang cukup akrab pergaulannya dengan simbah. Pertama kali masuk co-ass, simbah belum begitu akrab dengan mereka. Hingga akhirnya dikarenakan sering satu rombongan dan jaga bersama nginep di RS, keakraban itu mulai terbentuk.

Pada suatu ketika, bersama sekian co-ass yang lain simbah dan 2 sohib ini jaga di bagian Obsgyn. Pada saat jaga, simbah dan sohib-sohib ditempatkan di satu ruangan yang sebenarnya secara normal hanya muat 5 orang. Namun karena keterbatasan tempat, akhirnya dimuati sebanyak 9 orang. Kasur kapukpun dijejer biar muat.

Awalnya masing-masing co-ass masih pada jaim. Namun disaat nginep bareng dan berjubel macem ikan teri semacam itu, kejaiman mulai luntur. Lha mau jaim pigimanah, ha wong siangnya berlagak rapi jali, dipanggil dakdok-dakdok padahal masih co-ass, begitu malem tiba jebul ngileran, ngowohan, ngorokan dan menjadi makhluk pengerat saat tidur.

Tadinya peristiwa ngowoh, ngorok, ngiler dan mengerat tak dibicarakan. Begitu satu co-ass ditegur kang Mondhol, “Dul, mambengi sampeyan tidurnya kok kreat-kreot kayak ngunyah sekrup ki ngapain tho…?”

Pertanyaan ini meruntuhkan pager kewibawaan, kejaiman dan moral yang sebelumnya masih dijaga ketat. Si Dul yang sebelumnya ngempet gak bicara apa-apa akhirnya ngomyang juga : “Halah, lha sampeyan aja genah tidur nyirami bantal terus gitu kok. Ntar lagi klenthengnya numbuh itu jadi pohon randhu.”

Kang Jebol yang tadinya diem saja jadi ketawa ngakak…. Kang mondhol jadi dongkol. “Rasah ngguyu,”katanya. “Lha wong sampeyan ki kalo tidur suaranya kayak illegal logging gitu kok. Grakgrok-grakgrok ngorok macem suara graji mesin lagi nebang pohon.”

Mulai dari situ, semuanya tak ada yang malu-malu. Saling ejek dan ledek, namun dalam suasana canda yang cair. Jeroan masing-masing dikupas gak ada yang merasa malu. Karena pager jaim dan pager moralnya sudah dijebol bareng-bareng. Hingga akhirnya tiba-tiba terdengar suara “Broooott..!!”

Suara itu tak asing, karena semua co-ass pernah mengeluarkannya. Semuanya terdiam saling pandang. Namun pandangan semuanya tertuju pada kang Jebol. Mungkin saat itu semua sepakat untuk berkata dalam benak masing-masing, “Iki mesti klep anusnya Kang Jebol bener-bener jebol, lha kenthut kok sampai sedahsyat itu.”

Hanya simbah yang berani nyeletuk, “Sampeyan ki yen ngising jangan disini, galo mbesenya disana…Ambune kang-kang.”

Kang Jebol tiba-tiba ngakak. Aktifitas kenthut yang sakral dan dijaga dengan pager moral tebal itupun pagernya runtuh seketika. Dan sejak saat itu hampir setiap saat, salah satu dari suara berikut ini hampir selalu terdengar di kamar co-ass. Kalo nggak “Duut, preet, bruut” atau setidaknya “besss”…. yang terakhir ini tidak nyaring tapi aromanya mematikan. Aktifitas kenthut yang sebelumnya dilakukan sembunyi-sembunyi penuh was-was kalo konangan, tiba-tiba dengan leluasanya bisa dilepas dengan penuh kelegaan tanpa takut ditegur. Karena pager moral yang menjaganya sudah dirubuhkan bareng-bareng dengan meletupnya klep **** kang Jebol yang ternyata bukan diingatken, ditegur atau dimarahi tapi disambut dengan renyah.

Sebagaimana kenthut, perbuatan yang tidak pantas ataupun kemaksiatan lainnya sebenarnya memiliki pager moral yang sebelumnya sudah terbentuk secara alami dan fitrah. Pagar ini dibawa dan dibekalkan pada manusia sejak lahirnya. Sehingga perbuatan yang buruk pasti akan dirasakan memalukan jika dilakukan secara terbuka ataupun di muka umum. Walaupun sebenarnya secara pribadi ada sisi kenikmatan ketika seseorang melakukan hal yang kurang senonoh, maksiat ataupun dosa besar sekalipun.

Namun ketika pagar moral masing-masing amal maksiat dan tak senonoh itu ambruk, dan ambruknya ini sudah pasti ada yang memulai , maka yang muncul adalah aksi maksiat dilakukan tanpa malu, dan aksi tak senonoh menjadi tidak tabu lagi dipertontonkan.

Maka di masa dahulu, hal yang sungguh memalukan manakala seorang wanita tampak betisnya di muka umum. Pagar ini terjaga hingga akhirnya roboh ketika beberapa wanita yang bersedia menjadi pionir berani mempertontonkan tidak hanya betis, tapi juga paha dan selangkangan mereka. Awalnya banyak yang protes. Hingga akhirnya suara protes itu lama-lama tenggelam dan dianggap kuno. Sementara suara lantang yang mendukung aksi keterbukaan auroth itulah yang makin kenceng dan dianggap modern. Bahkan justru datang dari kalangan wanita sendiri, yang katanya tak ingin didikte caranya berpakaian (tapi mau didikte oleh arus fashion). Yang modern adalah yang makin tinggi roknya, makin tipis bahan kainnya dan makin menampakan sisi kefeminiman.

Di masa lampau, hamil di luar nikah adalah hal tabu memalukan. Semua bangsa dan suku pernah mengalami masa dengan pagar moral semacam ini. Tiba-tiba pagar moral ini diterjang oleh aksi zina demonstratip dengan banyak sebutan, diantaranya “kumpul kebo”, dan tiba-tiba masyarakat jadi permisif dengan kelakukan ini. Dan jika kita mau perhatikan, pagar moral yang fitrah dan alami sudah mulai hilang. Roboh satu-persatu oleh pionir kemaksiatan yang tak pernah dicegah, ditegur ataupun dihukum dengan pantas.

Padahal satu bangsa atau umat manakala pagar moralnya runtuh, semuanya jadi pantas namun bejat. Akan tampak di depan mata umum perbuatan maksiat dilakukan tanpa malu. Pejabat minta sogok tidak malu. Guru minta amplop agar anak didik naik ranking pun tak malu. Korupsi triliunan terbongkar tidak malu. Mahasiswa tawuran tidak tahu malu. Pelajar mbunuh pelajar malah bangga dan tidak malu. Wanita jual kehormatan tidak malu, malah dikonteskan.

Penjebol dan perubuh pagar moral ini makin banyak berkeliaran. Ada yang berwujud artis, pejabat, LSM, profesional, kere, kyai, dlsb. Dengan robohnya pagar moral, roboh juga rasa malu. Jika sudah tidak punya malu, segalanya jadi pantas. Tak heran, malu adalah salah satu cabang iman. Tak punya malu berarti tercabut satu cabang keimanan.

Sebab Kebahagiaan

Syahdan, tersebutlah kang Dulkamid yang hidupnya terkenal kesrakat secara dhohir. Adalah kekayaannya berupa rumah reyot hampir rubuh, sepeda onthel yang rantainya rajin lepas, baju berjumlah tujuh -nanti dulu…- maksudnya tujuh tambalannya, sebuah tempat tidur Spring Bed tanpa “S” (baca: Pring Bed) alias lincak dari bambu yang lebih terkenal dengan sebutan tempat tidur ‘kelas tinggi’ karena banyak “tinggi”nya (tinggi=kutu busuk bin bangsat) dan sejumlah lima juta ripis – nanti dulu…- maksudnya berupa utang. Tak seorangpun ibu dan tak juga sampeyan yang sedang menggendong anaknya menginginkan anaknya menjadi semisal si Dulkamid. Keunggulan satu-satunya yang dimiliki adalah kejujurannya. Tapi banyak orang mencibir, kejujuran tak membuat dia kaya.

Syahdan, dumadakan si Dulkamid didatangi seorang konglomerat yang menginginkan si Dulkamid menjadi asisten pribadinya. Tidak tanggung-tanggung, dia DIJANJIKAN gaji 30 juta ripis per bulan oleh si konglomerat. Konglomerat itu bilang, dia boleh langsung bekerja sebulan kemudian, dan langsung menerima gaji di muka 30 juta ripis.

Sampai di sini simbah mau bertanya, miturut sampeyan semua, kira-kira bagaimana keadaan hati si Dulkamid selama menunggu selama sebulan itu? Gembirakah atau sedihkah? Tentu saja dia gembira luar biasa.

Pertanyaan selanjutnya. Apakah dengan janji akan bekerja dan digaji di muka 30 juta ripis itu keadaan dhohirnya sudah berubah? Apakah dengan janji itu Pring Bed “kelas tinggi”nya itu menjadi sungguh-sungguh Spring Bed dengan “S”? Apakah dengan janji itu bajunya langsung rontok tambalannya seketika? Apakah dengan janji itu sepeda onthelnya tiba-tiba berubah menjadi Ducati 500 cc? Tidak!! Dengan janji itu kondisi dhohirnya tetep!! Tapi suasana hatinya berbeda. Si Dulkamid bisa tidur lebih nyenyak dengan mimpi indah. Tak masalah bajunya bertambal, utangnya masih tetep lima juta ripis dan masih miskin. Ada yang berubah pada dirinya yang tak terlihat secara dhohir.

Syahdan, di lain pihak tersebutlah si Dulkenyung, pengusaha sugeh mblegedhu berkantong tebal. Rumah real estate, mobilnya mewah, harta melimpah, orang memanggilnya bos eksekutif, tokoh papan atas … halah mirip lagu ‘Bento’ pokoknya. Simpanannya banyak, baik berupa uang maupun istri.

Syahdan, baru saja datang surat dari KPK yang meminta dirinya datang bulan depan, untuk ditanyai perihal semua bisnisnya yang ternyata bermasalah. Hingga disinyalir bisnisnya tersebut merugikan negara trilyunan ripis, dan berpotensi menyebabkan dia masuk penjara seumur idup.

Miturut sampeyan semua, bagaimanakah si Dulkenyung menjalani hidupnya sebulan ke depan? Bahagiakah atau cemaskah? Apakah dengan surat panggilan dari KPK itu tiba-tiba dia jadi miskin, lalu hilang semua simpanannya, atau hancur semua mobilnya atau bangkrut semua bisnisnya? Tentu saja tidak!! Hartanya tetap utuh, tapi kondisi hatinya sudah tidak seutuh seperti semula. Ketakutan mulai membayangi dirinya. Dengan kondisi kekayaan yang sama, hidupnya berubah menjadi seperti neraka.

Syahdan, simbah lantas bertanya, apakah yang menjadi penyebab bagi ketentraman hati dan kebahagiaan pada seseorang jika melihat cerita si Dulkamid dan si Dulkenyung di atas? Kekayaankah? Atau sepeda onthel? Atau Pring Bed kelas tinggi? Atau kemewahan dan segala keglamoran semisal yang dimiliki si Dulkenyung? Mengapa Dulkenyung di tengah kekayannya tidak menikmati masa sebulan penantian dipanggil oleh KPK, sementara di tengah kemelaratannya si Dulkamid hatinya bergembira menjalani sebulan penantian dipanggil konglomerat?

Seorang motivator yang tak mau disebut namanya menjelaskan, bahwa letak kebahagiaan dan penyebab kebahagiaan seseorang tergantung pada HARAPAN nya. Si Dulkamid memang mlarat kesrakat wal sekarat. Tapi harapannya sebulan ke depan luar biasa bagus, yang menjadikan kemlaratannya tak terasa pahit. Ada harapan walau belum berwujud, tapi mampu menyingkirkan segala rasa pahit kemiskinan dan kemlaratan yang menderanya.

Beda dengan si Dulkenyung walau hartanya melimpah, harapan sebulan ke depannya serba rumit dan gelap. Mobil mewahnya tak cukup bisa menghiburnya, istri denok deblongnya tak cukup cantik untuk menenangkan kegelisahannya. Spring Bed mewahnya tak cukup empuk untuk membuatnya tidur nyenyak. Semua diawali dari harapan yang suram.

Ilustrasi di atas menggambarkan tentang adanya harapan baik dan harapan buruk dengan durasi ’sebulan ke depan’. Harapan yang indah dalam sebulan ke depan, membuat bulan yang dilewati ikut menjadi indah. Harapan yang suram dalam sebulan ke depan, membuat durasi waktu sebulan yang dilewati ikut menjadi suram. Tidakkah sampeyan bisa mengambil satu kesimpulan dalam kalimat-kalimat di atas?

Hidup adalah satu waktu yang durasinya kita tidak tahu. Simbah tidak tahu, diberi durasi berapa tahun tinggal di planet bumi menghirup O2. Namun jika kita berpikir sederhana, sebab kebahagiaan pun juga sederhana. Sebab kebahagiaan terletak pada harapan yang hendak diraihnya.

Bagi orang beriman diberikan janji harapan “Laa khoufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun”. Tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih. Mengapa? Karena berapapun durasi hidup yang harus dijalani, endingnya adalah kalimat dalam bahasa arab yang sudah diterjemahkan di atas.

Apa ruginya hidup miskin berdurasi seumur hidup, jika endingnya bahagia selama-lamanya? Apa sedihnya hidup serba terbatas, jika endingnya senang tak terbatas? Durasi sebulan menunggu janji yang dialami si Dulkamid hanyalah gambaran betapa seharusnya seorang beriman menjalani hidupnya penuh harapan baik sebagaimana Dulkamid menunggu janji si konglomerat. Bedanya hanya di sisi durasi, mau sebulan, setahun, seabad… tak masalah.

Tapi mengapa ada saja orang yang hidupnya susah dan penuh kesedihan, jika ternyata untuk bahagia sangat sederhana caranya?

Penyebabnya ada beberapa:

1. Tidak yakin dengan isi janji dan si pembuat janji.
Jika si pembuat janji pada si Dulkamid adalah sesama kere yang gak gableg duit, maka isi janjinya pantas diragukan. Walaupun si Dulkamid dijanjkan gaji semilyar, tidurnya gak bakal jadi nyenyak. Masalahnya yang memberikan janji adalah si Dulkembung yang hanya bisa jual abab dan malah sering ngutang pada Dulkamid. Janji segede apapun tak akan menenangkan.
Demikian, pula jika sampeyan tak percaya janji Tuhan sampeyan, hidup sampeyan sedih dan menyedihkan. Mungkin sampeyan nyembah Tuihan yang salah. Tuhan yang dalam sejarahnya selalu ingkar janji. Tuhan yang tak jelas juntrungnya. Tuhan imaginer bikinan ahli ketuhanan yang suka menipu untuk kepentingan dunia. Jika sampeyan benar memilih Tuhan, sampeyan bisa pegang janji-Nya, dan menjadi tenanglah hidup sampeyan berapapun durasi hidup sampeyan.

2. Harapan hidupnya buruk.
Jika sampeyan berwatak ala Dulkenyung, si kaya berakhlak rajakaya (baca: hewan ternak), maka sudah terbayang ending hidup sampeyan pasti busuk. Maka berapapun durasi hidup yang diberikan pada sampeyan, mustahil sampeyan bisa bahagia. Hidup akan selalu dibayangi ketakutan, kekhawatiran dan ketidaktenangan. Kecuali sampeyan sudah terkontaminasi DNA nya si Iblis.

Iblis tahu ending hidupnya, yakni binasa. Namun buat dia oke-oke saja. Dia anggap sepadan. Toh hidupnya seumur dunia. Bisa hidup seenaknya, tak terikat aturan dlsb. Nah manusia yang sudah teracuni DNA Iblis akan menganggap kenikmatan dunia yang tanpa aturan itu sepadan jika harus mengalami ending busuk. Iblis dan kroninya lupa, bahwa bilangan berapapun jika dibagi bilangan tak terbatas, hasilnya NOL. Berapapun lamanya hidup di dunia, jika DIBANDINGKAN dengan waktu tak terbatas akherat, semuanya jadi tidak bernilai dan tak pantas diperjuangkan. Tak ada yang sepadan jika harus ditebus kesengsaraan tak terbatas.

Jadi jika sampeyan mau hidup bahagia, caranya sederhana. Perbaiki harapan hidup sampeyan. Ingat: harapan berbeda dengan khayalan. Jika petani menebar benih padi dan menunggu padi tumbuh, itu namanya harapan. Namun jika petani menebar kerikil dan menunggu kerikil itu tumbuh menjadi tanaman padi, itu namanya khayal.

Mati Ala Ruwet

Belum cukup hidup dalam keruwetan, manusia lebih suka memilih mati dengan ruwet pula. Ini dilakukan oleh hampir semua suku dan adat di dunia. Kematian yang selayaknya ringkes dan sederhana, menjadi ruwet dan penuh pernik-pernik gak penting.

Setelah mati sebenarnya jenazah tinggal dirawat untuk dikubur saja. Namun embel-embelnya banyak sekali. Dari sabang (yang konon tradisinya Islam) sampai merauke (dengan tradisi pedalamannya) semua tak luput dari hal-hal tersebut.


Di dalam tradisi yang berbau Islam pun masih banyak sinkretisme yang merasuk di dalam upacara pemakamannya. Padahal Islam adalah ajaran yang paling ringkes di dalam hal upacara penguburan ini. Sebagai contoh simbah cantumkan di bawah ini :


1.Jenazah gak segera dikuburkan sebelum semua anggota keluarga melihat untuk terakhir kalinya. Ini syarat yang ruwet. Kadang karena harus memenuhi syarat ini, jenazah harus nginep bermalam-malam untuk menunggu anaknya yang ragil yang masih diperjalanan menembus hutan di pedalaman Kaltim sana.


2.Sebelum jenazah dikuburkan, semua anggota keluarga njalani upacara “brobosan”. Yakni mbrobos, merangkak di bawah peti jenazah. Konon biar gak inget terus sama yang mati.


3.Penggali kubur harus slametan dulu, biar galiannya lancar, tidak rembes air.


4.Setelah dikubur, masih banyak ritual yang harus dijalani. Macem 3 harian, 7 harian, 40 harian, 100, lalu mendhak satu dua, tiga…sampai nyewu hari.


Kadang hal-hal ini terkait dengan satu agama, tapi banyak yang rancu. Sudah banyak unsur sinkretisnya. Campuran keyakinan Hindu, Budha, Islam, Kong Hu cu,…yah jadinya keyakinan gado-gado. Akhirnya dinamailah ‘kebudayaan’ atau ‘tradisi’.


Ini belum kalo pas musim mendekati bulan puasa maupun syawalan. Kuburan yang biasa sepi, jadi serasa pasar kaget. Tukang doa pun panen. Mau doa yang makbul… ada taripnya. Mau doa yang sederhana, boleh juga. Murah…. gak ditanggung makbul. Makin mahal, makin panjang doanya. Peziarah yang naik mobil mewah dijamin dapet doa yang panjang-panjang.


Yang ngalap berkah disini tidak hanya tukang doa. Penjual kembang atau bunga pun dapet rejeki kagetan ini. Bunga menjadi komoditi laris acara ziarah kubur ini. Gak tahu dari agama mana yang mengajarkan ini semua, yang jelas ini menambah ruwet prosesi kematian yang memang seharusnya sederhana.


Kasian yang hidupnya miskin. Mungkin keluarganya gak layak masuk surga menurut mereka. Lha gimana? Mbayar tukang doa gak mampu. Beli kembang gak gableg duit. Malah ada yang keluarganya gak diacarakan 3 harian, 7 harian dst, diomongin sama tetangga kiri kanannya, “ngubur orang kayak nanem bangke kucing saja.” Maksudnya gak ada upacara apa-apa setelah itu.


Kalo dituruti tradisi ini, memang yang berhak masuk surga cuma orang-orang kaya saja. Lha dari sejak ngubur sampai “nyewu” itu kalo dikalkulasi biayanya bisa sampai ratusan juta bahkan milyaran. Ngundang ustadz2 dan kyiai2. Ngamplopi para tamu undangan. Sak amplop isinya variatip. Kisaran sepuluh rebuwan sampe gambar sukarno-hatta. Lha wong mlarat ngempet khan gak akan mampu menggelar tuntutan tradisi semacam itu. Ya sudah, di’bangkai-kucing’kan sama tetangga ya harus pasrah.


Belum lagi ini ditambah biaya pemakaman atau penguburan yang makin ngudubilah setan. Gak percaya? Coba baca di sini atau bisa juga baca di sini . Mumet dan ruwet memang urusan wong mati ini. Ruwet yang dibikin sendiri oleh pelakunya.

Hidup Ala Ruwet

Sebagai ‘wong jowo’, simbah merasakan betul betapa yang namanya adat terkadang mbikin hidup tambah ruwet. Mungkin tadinya bermaksud baik, namun seiring bergesernya waktu, adat yang tadinya terlihat adiluhung, malah terasa menyesakkan hidup. Apalagi kalo diembel-embeli keyakinan.

Simbah gak begitu tahu banyak adat-adat apa yang harus dilalui seumur hidup manusia. Namun yang sedikit simbah ketahui saja sudah cukup merepotkan manusia. Di sini simbah kutipkan sedikit.


FASE KEHAMILAN

Fase ini harus dilalui dengan banyak berpantang. Wong jowo nyebut “ra ilok”, wong sunda bilang “pamali” atau pantangan yang gak pantes dilakukan. Misalnya :

• pas hamil kalo ngidam harus dituruti, biar anaknya gak ngileran atau ngecesan

• kenthut jangan kenceng2, biar anaknya gak dobolen
• makan jangan glegeken (sendawa), biar anaknya gak buncit perutnya
• kalo lihat orang cacat harus bilang “amit-amit jabang bayi”, biar anaknya tidak lahir cacat
• gak boleh makan ikan mujahir, biar anaknya nggak ndoweh wal ndawir ataupun mencos
• gak boleh nyembelih binatang, takut anaknya lahir kehilangan organ tubuh….. dlsb

Ada juga upacara mitoni. Jangan sangka ini upacara nyembelih ular piton… bukan. Ini upacara menyambut usia kehamilan bulan ke tujuh.




FASE KELAHIRAN SAMPAI PERNIKAHAN

Begitu lahir ceprot, ada upacara nanam ari-ari. Bayi laki ari2nya ditanam di samping kanan rumah, bayi perempuan di samping kiri rumah. Sambil dipasangi lampu teplok.
Lima hari kemudian “sepasaran bayi”. Lalu tiap selapan (35 hari) dibancaki. Bancakan weton namanya. Dulu menunya nasi urap (gudhangan) plus telor dibagi enambelas. Jan nyamleng tenan. Ini masih ditambahi tiap tahun diulang-tahuni. Ritual yang melelahkan.

Kadang yang gak punya duit direwangi ngutang ngalor ngidul. Mbayarnya ngetan ngulon… Sampe ada yang kado ulang tahunnya sebuah Tower…. weh, sugeh mblegedhu. Jebul bapaknya korupsi. Nah saat bisa jalan pun ada upacara “Tedhak Sinten”, yakni syukuran si anak bisa napak jalan. Mungkin orangtuanya khawatir, anaknya jalan gak ngambah lemah, kayak kuntilanak saja.


Nah begitu puber, mulailah ritual dewasa. Yang pertama latihan bermuka dua dengan pacaran. Muka dua? Lha iya… jika didepan pacar, semua diperlihatkan yang manis-manis dan bagus2. Meludah yang sopan, wahing diempet, angop ditutupi, kenthut dikempit… wah teori John Robert Power dijalani semuah. Begitu di rumah ida-idu hoak-hoek, wahing gebras-gebres, angop ngowoh, ngenthut brat-brot sak ampase. Konangan setelah jadi suami isteri.


Trus mulailah ritual lamaran, tukar cincin dengan sederet upacaranya. Nah memasuki pernikahan, adat yang harus dilaksanakan sak tumpuk. Apalagi orangjawa paling seneng dengan yang namanya “pepindhan’ alias perlambang.

Maka dipasangilah saat upacara pernikahan pohon tebu. Maksudnya biar manteb di kalbu. Ada juga Cengkir, agar kenceng anggone mikir. Trus ada upacara sawat-sawatan (saling melempar) daun sirih sambil ketawa-ketawi. Padahal boleh jadi setahun kemudian itu daun sirih diganti batako, sambil saling pisuh-pisuhan suami isteri. Lalu tidak lupa ritual nginjek telur.

Di belakang upacara itu, sang pawang hujan sibuk komat-kamit nolak hujan biar tamunya banyak yang datang. Salah satu cara nolak hujan yang konon katanya manjur adalah dengan melempar celana dalam sang penganten perempuan ke atas genting rumah. Weleh… Belum lagi di dapur mbah dukun sibuk nyajeni pawon (tungku api), kalo sekarang kompor. Katanya biar panas apinya. Kalo kurang sajen dan apinya gak panas, masakannya lama matengnya. Keburu tamunya gumruduk pada ngumpul kleleran belum disuguh. Hayyah… api kok kurang panas… mbok dinyunyukne bathuke mbah dukune ben kroso.


Semua dijalani dengan penuh keruwetan. Lebih terasa ruwet saat dijalani oleh orang dengan aktifitas penuh kesibukan seperti sekarang.


Simbah bukan orang yang anti dengan adat istiadat. Namun adat yang berbau klenik dan tidak mendidik hendaknya dieliminir saja. Adat yang bagus dan mengandung norma yang membangun harus dilestarikan. Apalagi adat yang membuat hidup mudah… itulah yang dimangsud …”yuriidullohu bikumul yusro, walaa yuriidu bikumul ‘usro..” (Allah menghendaki kemudahan buat kalian, dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian).

Sabtu, 31 Januari 2015

The Philosophie of Godril


Sudah lama gak jumpa dengan makhluk benda padat yang bernama godril. Mungkin sudah 10 tahun lebih. Godril bukan makhluk asing, bukan makanan beracun & bukan pula minuman. Godril juga bukan merek susu bantal (Real Good) yang dibaca orang arab dari kanan. Dia adalah buah dari pohonMunggur/Trembesi, begitulah kita wong Jowo menamai pohon besar berbuah hitam, panjang, berbiji kecil hitam dan keras. Keberadaan godril tergeser oleh adanya snack-snack yang lebih ramah gigi dan ramah bau.

Ditambah lagi, yang namanya pohon ini juga sudah mulai jarang ditemui. Maka generasi anak-anak sekarang, sudah tidak paham lagi apa itu yang dimangsud dengan godril. Meskipun di jaman mingsih cilikan dulu, godril adalah snack yang jan-jane ra mitayani tapi cukup menggoda selera.

Mengolah godril dari mentah menjadi siap santap adalah proses yang menguras energi. Pertama biji dionceki dari buahnya yang panjang item dan lengket. Bau getahnya sih sedep, tidak seperti bijinya. Karena getahnya lengket, biji godril yang cuma sebesar gotri motor itu dijemur sampai kering. Setelah kering, godril siap digongso/disangrai/digoreng tanpa minyak.

Saat digongso, seringkali godril-godril itu ada yang meledak pecah. Kalo nggongsonya gak ati-ati, isi pawon bisa bertabur godril yang mencelat, selain itu dapur-mu juga bisa kecipratan. Wis, pokoke rekoso tenan ngolah godril.

Tingkat kerekosoannya meningkat saat sudah mateng. Mau makan sebiji godril yang sebesar gotri tadi butuh mujahadah yang besar. Karena kulitnya item, keras dan susah dibuka. Energi yang didapet dari makan godril seringkali malah gak imbang daripada energi yang dikeluarkan... Defisit akut istilahe.

Yang paling njelehi adalah efek samping ke pencernaan. Bau kenthut godril adalah khas. Brang-breng nyaingi jumbleng. Sampai-sampai konco-konco bisa menebak, begitu aroma tercium langsung disambut makian, “Wooo, lhadalah, asem tenan, enthut godril tenan iki….” Ya, betul… baunya setara dengan kenthut jengkol atau pete. Yang gak tahan jijik bisa mukok ngenggon. Perkumpulan anak-anak yang asik main jemeh po gaple pun bisa bubar sambil misuh-misuh kalo satu membernya ngenthut godril.

Itulah siklus konsumsi godril. Susah-susah didapat, diolah, dikonsumsi, namun efeknya malah gak mitayani. Godril adalah gambaran kompetisi kehidupan dunia. Orang susah payah ngumpulin harta. Endhas buat ceker, ceker buat endhas. Karena ngumpulin harta dunia, semua bisa kewalik-walik. Haram jadi halal, halal jadi haram. Yang haram saja susah didapat, apalagi yang halal, begitu kata wong nderung.

Begitu sudah didapat, orang bingung membelanjakan. Harta sedikit merasa kurang, harta banyak ra cukup. Padahal semuanya yang didapat tersebut tak ada yang abadi. Pasti akan berakhir jadi rongsokan. HP paling mewah tahun 90-an, adalah HP bahan tertawaan saat sekarang. Cocoknya buat nyambit maling po nbandhem kirik ...katanya. Meskipun nantinya ada juga barang mahal karena antik, namun mahalnya barang antik itu setelah yang punya diurug tanah, alias dut van modiyar. Itu berlaku bagi semuanya. Rumah, mobil, barang mewah, apalagi makanan.

Konon ada yang mengecualikan, yakni permata alias diamond. Diamonds are forever, katanya. Betul, diamond adalah selamanya permata. Nilainya tetap. Tapi yang punya permata bisa bernasib sebaliknya. Ada yang mati karena dirampok permatanya, ada yang terbantai karena permata yang dimilikinya. Bahkan ada satu negeri yang langgeng berperang sampai ancur-ancuran karena supply energi perang dari permata. Pilemnya dibintangi Leonardo di Caprio….. katanya siiih (wong gak nonton pilemnya).


Godril adalah ayat kauniyah. Yang mau mbukak ayat Qouliyah, bukalah Al Qur’an Surat Al Hadiid ayat 20.