Sabtu, 31 Januari 2015

The Philosophie of Godril


Sudah lama gak jumpa dengan makhluk benda padat yang bernama godril. Mungkin sudah 10 tahun lebih. Godril bukan makhluk asing, bukan makanan beracun & bukan pula minuman. Godril juga bukan merek susu bantal (Real Good) yang dibaca orang arab dari kanan. Dia adalah buah dari pohonMunggur/Trembesi, begitulah kita wong Jowo menamai pohon besar berbuah hitam, panjang, berbiji kecil hitam dan keras. Keberadaan godril tergeser oleh adanya snack-snack yang lebih ramah gigi dan ramah bau.

Ditambah lagi, yang namanya pohon ini juga sudah mulai jarang ditemui. Maka generasi anak-anak sekarang, sudah tidak paham lagi apa itu yang dimangsud dengan godril. Meskipun di jaman mingsih cilikan dulu, godril adalah snack yang jan-jane ra mitayani tapi cukup menggoda selera.

Mengolah godril dari mentah menjadi siap santap adalah proses yang menguras energi. Pertama biji dionceki dari buahnya yang panjang item dan lengket. Bau getahnya sih sedep, tidak seperti bijinya. Karena getahnya lengket, biji godril yang cuma sebesar gotri motor itu dijemur sampai kering. Setelah kering, godril siap digongso/disangrai/digoreng tanpa minyak.

Saat digongso, seringkali godril-godril itu ada yang meledak pecah. Kalo nggongsonya gak ati-ati, isi pawon bisa bertabur godril yang mencelat, selain itu dapur-mu juga bisa kecipratan. Wis, pokoke rekoso tenan ngolah godril.

Tingkat kerekosoannya meningkat saat sudah mateng. Mau makan sebiji godril yang sebesar gotri tadi butuh mujahadah yang besar. Karena kulitnya item, keras dan susah dibuka. Energi yang didapet dari makan godril seringkali malah gak imbang daripada energi yang dikeluarkan... Defisit akut istilahe.

Yang paling njelehi adalah efek samping ke pencernaan. Bau kenthut godril adalah khas. Brang-breng nyaingi jumbleng. Sampai-sampai konco-konco bisa menebak, begitu aroma tercium langsung disambut makian, “Wooo, lhadalah, asem tenan, enthut godril tenan iki….” Ya, betul… baunya setara dengan kenthut jengkol atau pete. Yang gak tahan jijik bisa mukok ngenggon. Perkumpulan anak-anak yang asik main jemeh po gaple pun bisa bubar sambil misuh-misuh kalo satu membernya ngenthut godril.

Itulah siklus konsumsi godril. Susah-susah didapat, diolah, dikonsumsi, namun efeknya malah gak mitayani. Godril adalah gambaran kompetisi kehidupan dunia. Orang susah payah ngumpulin harta. Endhas buat ceker, ceker buat endhas. Karena ngumpulin harta dunia, semua bisa kewalik-walik. Haram jadi halal, halal jadi haram. Yang haram saja susah didapat, apalagi yang halal, begitu kata wong nderung.

Begitu sudah didapat, orang bingung membelanjakan. Harta sedikit merasa kurang, harta banyak ra cukup. Padahal semuanya yang didapat tersebut tak ada yang abadi. Pasti akan berakhir jadi rongsokan. HP paling mewah tahun 90-an, adalah HP bahan tertawaan saat sekarang. Cocoknya buat nyambit maling po nbandhem kirik ...katanya. Meskipun nantinya ada juga barang mahal karena antik, namun mahalnya barang antik itu setelah yang punya diurug tanah, alias dut van modiyar. Itu berlaku bagi semuanya. Rumah, mobil, barang mewah, apalagi makanan.

Konon ada yang mengecualikan, yakni permata alias diamond. Diamonds are forever, katanya. Betul, diamond adalah selamanya permata. Nilainya tetap. Tapi yang punya permata bisa bernasib sebaliknya. Ada yang mati karena dirampok permatanya, ada yang terbantai karena permata yang dimilikinya. Bahkan ada satu negeri yang langgeng berperang sampai ancur-ancuran karena supply energi perang dari permata. Pilemnya dibintangi Leonardo di Caprio….. katanya siiih (wong gak nonton pilemnya).


Godril adalah ayat kauniyah. Yang mau mbukak ayat Qouliyah, bukalah Al Qur’an Surat Al Hadiid ayat 20.