Jumat, 18 Agustus 2017

Proposal Hidup

Setelah kurang lebih 17 tahun menikah, simbah dikaruniai 9 orang anak dan insya Allah sebentar lagi 10. Bagi sebagian orang, jumlah anak 9 adalah jumlah yang fantastis untuk ukuran keluarga abad 21 ini. Anggapan tersebut tentu saja hasil pengkondisian, dimana ditanamkan di benak semua manusia bahwa jumlah anak haruslah sedikit jika mau menghasilkan generasi yang nyakdhut.

Penanaman pemahaman tersebut masih terus berlanjut walaupun sudah berpuluh bahkan beratus kasus terkuak, dimana seorang ibu dibacok anak semata wayangnya karena tak dibelikan motor, atau si bapak yang diancam bunuh karena tak segera menulis surat warisan buat anaknya yang ragil (no.2), atau sang ibu yang terpaksa siang malam banting tulang menghidupi 2 anak SMA nya yang aktif ngePUNK mencukur gundul rambutnya, mengantingi hidung dan lambenya yang persis lambe sumur itu tanpa menghiraukan gaji simboknya yang dibawah UMR guna menghidupi gaya hidup ngepunknya.

Sebagian besar orang ketakutan dengan jumlah anak bukan karena khawatir anaknya kurang terurus, tapi lebih banyak yang khawatir jika anaknya banyak, kelangenan dirinya menjadi terganggu. Sebagian orang tua yang kelangenannya berkarir di luar rumah merasa terganggu jika harus tersita waktunya ngurus anak. Mereka lupa bahwa mengurus anak di rumah pun merupakan karir yang dapat mencemerlangkan hidupnya.

Ada satu pasien simbah yang anaknya baru satu. Dua ortunya sibuk berkarir. Mereka bukan orang miskin, bahkan bisa dibilang kaya raya. Tapi setiap simbah tanya perihal kondisi penyakit anaknya, si ibu menjawab,
“Wah nggak tahu ya dok, soalnya ini tadi yang momong simbahnya. Katanya sih agak mencret.”
Ha wong berobat kok gak weruh pigimanah penyakit anaknya dan hanya mengandalkan kata embahnya yang tak dihadirkan saat pemeriksaan. Kedua ortu ini sudah berangkat sejak bakda shubuh, dan pulang selepas Isya’… Demi anak yang kalau sakit, orang tuanya tak tahu sakit apa dan bagaimana sakitnya.

Orang tua sebagimana yang simbah ceritakan di atas pasti akan tak habis pikir bagaimana orang semodel simbah kok mau-maunya punya anak sembilan. Ha wong satu saja sudah merusak kenyamanan mereka dalam berkarir, apalagi lipat sembilan.
Sebagian beranggapan, simbah berani punya anak enam dikarenakan simbah adalah dokter yang duitnya pasti sak jagad abuh. Sehingga tak lagi dipusingkan dengan urusan financial buat ngopeni anak. Ini juga rembug ngoyoworo. Biasanya yang ngomong begini adalah orang yang kebetulan belum pernah ketemu simbah langsung.

Ah, sudahlah….. Tulisan ini tak berkehendak membahas hal-hal tersebut di atas. Hanya saja kebetulan memang simbah dikaruniai anak banyak. Satu-satunya hal yang membuat simbah tetap optimis bahwa hidup simbah ada yang membantu hanyalah proposal hidup simbah. Bukan kekayaan, bukan kelonggaran dan bukan masalah financial.

Sampeyan tahu, jika sampeyan memiliki proposal bisnis yang sangat menguntungkan dan masuk akal, ketika kita presentasikan proposal tersebut, pastilah si pemilik modal akan dengan senang hati merogoh koceknya untuk menyokong usulan bisnis kita tersebut. Bahkan jika bisnis tersebut sangat prospekktif dan menguntungkan, pemilik modal akan dengan gembira mau menggelontorkan duit banyak walaupun hanya dibagehi 10% dari keuntungan.
Tapi jika proposal bisnisnya beresiko, sampeyan harus mati-matian meyakinkan investor untuk mau menyerahkan modalnya. Itupun sang investor pasti menghendaki porsi besar karena bisnisnya beresiko.

Pertanyaan besarnya, APA PROPOSAL HIDUP ANDA? Apa tujuan hidup anda yang nantinya Allah akan sukacita membantu dan menyokong segala aspek kehidupan anda dengan sepenuhnya. Jika proposal hidup anda hanya sekedar menggapai hidup nyaman, maka proposal hidup anda tak lebih dan bahkan sama dengan si Pleki kiriknya lik Pailul itu. Percuma Allah mengaruniai sampeyan kemampuan bicara, kemampuan menalar, kemampuan berpikir dan segala kemampuan milik manusia yang tak dimiliki hewan, jika cita-cita hidup sampeyan hanya selevel hewan. Betapa rendahnya proposal hidup sampeyan.



Namun jika sampeyan mempersembahkan hidup ini benar-benar dalam rangka beribadah, membantu agama Allah (walau Allah sebenarnya tak butuh bantuan), mempersembahkan apa yang sampeyan miliki dalam rangka menyempurnakan peribadatan kepada-Nya, maka Allah Maha Kaya untuk mencukupi segala kebutuhan hidup sampeyan. Proposal hidup yang begitulah yang Allah kehendaki, yang pasti hidup sampeyan tak akan sia-sia.

Maka anak satu atau dua, jika proposalnya benar, itu merupakan kebaikan. Anak sembilan bahkan sepuluh, jika proposalnya benar, bisa jadi jumlah sembilan atau sepuluh kurang. Semakin banyak anak semakin banyak kebaikan terbikin, jikalau proposal hidupnya betul.

Dengan anak makin banyak, simbah hanya dituntut untuk memperbaiki isi proposal hidup simbah. Jika masih dalam rangka ngibadah, insya Allah tak ada kekhawatiran dalam diri simbah akan kekurangan rejeki. Karena simbah yakin, Allah yang telah memakmurkan mereka yang durhaka, tentulah Maha Kaya dari menelantarkan hamba-Nya yang telah berniat mempersembahkan hidupnya demi mengabdi pada-Nya.

Ada ayat INTAN yang nilainya melebihi intan jika dipahami:

“Intanshurullaaha yanshurkum. Wa yutsabbit aqdaamakum..”
Jika kalian menolong Allah, maka Allah akan menolong kalian.
Dan mengokohkan tumit-tumit kalian…

Senin, 31 Juli 2017

Bank PLECIT

Simbah kurang paham mana ejaan yang benar, apakah Bank Plecit atau Bang Plecit. Kalo di Jakarta sini orang menyebutnya Bank Keliling, tapi bisa juga maksudnya Bang Keliling, karena biasanya yang keliling itu laki-laki. Tampilannya pun biasa saja, bahkan keliatan culun, ndeso bahkan sebagian tampak kurang gizi. Namun aktifitas yang dilakukannya mbikin simbah miris.

Mereka adalah pelaku ekonomi riil di tengah masyarakat ekonomi lemah. Kerjanya memberikan pinjaman pada yang memerlukan. Tidak besar memang. Besarannya hanya ratusan rebu hingga jutaan, tapi tetap di bawah angka 5 juta.

Nggak tahu gimana asal muasalnya tiba-tiba simbah disambati seorang pengusaha bisnis remeh temeh yang terlilit utang di Bank Plecit alias Bank Keliling ini. Utangnya sebenarnya juga tak besar. Hanya 500 rebu ripis. Tapi itu nilai yang besar buat satu keluarga yang ekonominya lebih sering bumi gonjang-ganjingnya daripada langit kelap-kelapnya.



Setelah nggedabrus ngalor ngetan, akhirnya simbah menanyakan gimana tho sebenarnya kerja Bank Keliling itu. Kok bisa-bisanya banyak yang sambat dililit utang oleh Bank Keliling itu. Pengusaha itu akhirnya bercerita, bahwa bunga yang diterapkan oleh bank Plecit itu lumayan gede. Tagihannya pun harian. Jadi akhirnya kewalahan sendiri nyarutang (bayar hutang).

Mekanismenya gini, tarohlah si shohibul kajat ngutang dua juta ripis. Maka si Bank Plecit akan kasih dua juta ripis dipotong administrasi 10 persen, sehingga total duit yang diterima shohibul kajat cuma 1,8 juta ripis. Trus Bunga yang diterapkan adalah 20 persen perbulan. Sehingga dalam sebulan si shohibul kajat harus membayar tanggungan hutang sebesar 2,4 juta ripis. Jikalau dalam satu bulan bisa lunas, si bank Plecit akan memberikan uang penghargaan sebesar 100 rebu ripis buat shohibul kajat, karena berdedikasi tinggi mau mbayar utang tepat waktu.

Jadi buat Bank Plecit itu, dari uang 1,8 juta ripis bisa menangguk untung 500 rebu ripis. Jiaaaan… kapitalis sejati. Kapitalis edan wal gemblung. Menerapkan prinsip uang yang bekerja untuk diri kita. Bukan kita yang bekerja untuk uang. Tapi keblinger wal kesasar, milih dalan peteng… membungakan uang. Lha yang ngutang jadi semakin mbeseseg dadanya. Ngutang dua juta ripis ditagih setiap hari 80 rebu ripis. Ha wong hidupnya saja sudah kesrakat kok dituntut menyediakan duit 80 rebu ripis sehari. Apa nggak semakin semaput.

Si bank Plecit beralasan, ha wong minjem bolo pecah saja ada uang sewanya kok. Pinjem meja kursi, kamera, mobil, alat pesta dan lain sebagainya, semua pakai uang sewa. Mosok pinjem duit gak ada uang sewanya. Mereka menganggap hutang duit itu sama dengan nyewa. Maka harus bayar uang sewa. Lha, pantesan… makanya mereka pantas disebut RENTENIR. Karena kerjanya rental duit, yang mana RENT itu kan artinya sewa. Mereka nganggep menghutangkan uang itu ya menyewakan uang. Wah.. dasar koplo, otak kapitalis atheis.

Yang lebih mengherankan, ternyata pelaku lapangan itu hanya pegawe saja. Kerjanya menawarkan dan nagih. Sedangkan pemodal bank Plecit di daerah simbah sini kebanyakan kumpulan para Haji sugeh plus tuan tanah, yang hobinya kawin, punya simpenan bini di mana-mana, tapi terpandang di mata masyarakat karena sugehnya.

Makanya Kitabullah menganggap orang-orang yang terlibat dalam urusan rental merental duit ini sebagai orang yang gendheng dan kerasukan setan. Sehingga yang namanya riba itu dihapus oleh syareat sampai ke akar-akarnya. Gak ada itu riba walo kecil. Haram sampai ke akar-akarnya. Kalo nekat, Allah umumkan perang pada pelakunya.

Cuma yang namanya setan, tetap gak kehabisan jurus. Kata riba diasingkan dan dikucilkan. Dipoleslah kata-kata seram itu. Maka riba berevolusi menjadi produk-produk bergengsi. Saking bergengsinya menyebabkan yang makai jadi kecanduan. Bahkan menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Seseorang belum dianggep perlente kalo belum punya kartu riba… eh… kartu kredit alias CC dari lima bank besar di dunia. Mbeli barang kurang nggaya kalo nggak dengan cara nggesek kertu.

Karena nyandu, maka banyak yang menolak bahwa itu sebenarnya riba. Ibarat lethong sapi dipoles krim sehingga nampak seperti kuwe tart. Lha trus ada yang kapusan. Kuwe tart lethong sapi itu diunthal sak kayange. Sebagian malah buat ndublag bayi-bayi yang masih innocent. Trus tiba-tiba ada yang ngelokne, Kang lethong sapi kok diemplok. Lha opo hora pait..?”

Karena terlanjur nyandu dan belepotan lethong, njawab dengan membabi buta tanpa menceleng melek,Lethong sapine mbahmu, iki kuwe tart lapis legit tahu…!! Ha mbok dirasakne… ha wong manis-manis nyamleng gini kok lethong sapi. Ha kalo ada pait-paitnya dikit wajarlah.. itu pariasi rasa.. Dasar ndesit..!!”

Pait-pait dikit wajar lah, Riba dikit gak papa lah. Bunganya kan kecil, gak mencekik kita. Ha kok situ yang malah kecekik…. bla..bla..bla. Itulah alasan pembenaran bagi pelakunya. Bahkan ada yang parah, sampai bilang…Lha kalo gak pakai sistem riba ini, gimana bisa hidup di jaman moderen ini..??”

Simbah menangkapnya begini, “Lha kalo gak makan lethong sapi, gimana kita bisa menahan lapar kita, mau makan apa kita??” Tapi buat yang lainnya sih, kali aja beda. Ha wong kupingnya juga beda, hatinya beda, isi polonya juga beda.

Yang jelas bank Konvensional, apalagi bank Plecit… telah diharamkan oleh MUI, yang haram tentu saja ribanya. Yang lainnya tidak. Ibarat warung yang jualan macem-macem barang, yang haram adalah dagangannya yang haram saja macem ciu, arak, sate jamu (asu), kikil babi dlsb. Tapi itu MUI, fatwanya katanya bukan hukum positip. Pelakunya berdosa menurut syareat tapi bukan kejahatan apalagi kriminal miturut negara. Sedangkan dokter yang nyembuhin pasien, pasiennya jadi bagas waras bahkan nyembah-nyembah maturnuwun sama dokternya karena sudah ditambani dan sembuh, dianggap kriminil 

Minggu, 28 Mei 2017

Hedonis Religius

Setidaknya ada 5 keluarga yang selama ini bekerja di perusahaan kecil simbah, dengan penghasilan per bulan berkisar antara 1 hingga 1,4 juta. Angka sebesar itu bukanlah apa-apa jika dibanding dengan jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk tinggal di Jakarta. Maka tak heran jika mereka sampai saat ini masih istiqomah ngekasbon pada perusahaan yang nantinya ditutup dengan potongan gaji mereka.

Ada yang menarik dari perilaku pengeluaran para buruh itu. Beberapa bulan lalu simbah menawarkan HP pada mereka untuk komunikasi lapangan. Simbah menawarkan bantuan dengan kisaran 200 hingga 300 rebu ripis buat membeli HP CDMA atau kalau mau GSM bekas. Saat simbah tawarkan pada mereka, simbah kaget dengan jawaban mereka…..

“Pak, kalau HP yang ada MP3 dan kameranya itu berapa ya? Saya mau yang itu saja….” Kata salah seorang pegawai yang berposisi sebagai sales. 

Glodaak..!! HP dengan kriteria yang sales maksud itu, saat itu harganya mencapai satu bulan gaji mereka. Bukan simbah gak mau ngasih, tapi apa yang dimaksud sudah melenceng dari tujuan semula. Simbah bermaksud dengan adanya HP komunikasi lapangan jadi mudah. Jadi sekedar maksud fungsional saja, mengingat gaji pegawai yang kecil.

Beberapa waktu sebelumnya, seorang kawan simbah kebobolan rumahnya oleh pembantu rumah tangganya. Duit sekian juta ilang. Rupanya ditilep oleh si Denok yang ngebet punya HP buat nggedabrus ngalor ngidul. Karena si Denok masih termasup kalangan gedibal pitulikur yang mlarat ngempet, diampunilah dosanya. Namun ternyata blunder masih berlanjut. Diawali dengan ketakutan salah seorang anak dari kawan simbah yang saat malam-malam kencing ke mbese, dia mendengar bunyi tawa cekikikan seorang wanita bak kuntilanak dikitikin. 

Misteri suara tawa cekikikan wanita tengah malam itu terungkap, di saat sang kawan menerima print out billing tagihan telepon bulanannya. Tertera tagihan dua juta ripis lebih. Satu jumlah yang membuat kaget, mengingat mereka jarang memakai telepon rumahnya. Usut punya usut ternyata suara cekikikan tengah malam itu adalah suara si Denok yang tengah asyik nggedabrus pakai telepon sang juragannya. Sekali pakai tagihannya bisa nyampai ratusan rebu ripis. Kali ini si Denok tak diampuni. Melarat, gedibal pitulikur, tapi maunya hedonis.

Tiga hari lalu simbah mengangkat tukang cuci baru. Seorang wanita dari kalangan yang terbuang. Konon anaknya tiga. Yang sudah simbah lihat baru satu, yakni anak yang kedua. Seorang anak kecil dengan pakaian lusuh, dengan ingusnya yang khas yang selalu bergelayut. Anak pertamanya katanya sudah SD kelas 4. Sedangkan yang membuat hati hampir meledak adalah kisah anak ketiganya. Saat dia hamil anak ketiga, dia gak punya duit. Ditawarlah anak yang masih di dalam kandungan itu oleh satu keluarga yang konon belum dikaruniai momongan yang tinggal di Tanjung Priok. Sang ibu mengiyakan. Anak ketiga yang berjenis kelamin perempuan itu sekarang sudah berujud televisi kecil yang metangkring di kontrakannya, serta uang tiga juta ripis dan biaya perawatan kehamilan dan persalinannya sebagai tukar gulingnya. Mengingat simbah juga masih punya momongan berumur baru setahun, simbah mau nangis mendengar kisah sang ibu buruh cuci itu.

Simbah gak habis pikir, apa enaknya nonton tipi jika saat nonton tipi itu lantas terkenang si anak yang saat ini ditangan orang lain akibat ditukargulingkan dengan tipi itu. Belum lagi jika mengingat adanya jaringan penjual manusia yang berkeliaran mencari mangsa.

Herannya lagi, respon yang muncul pada tetangga kanan kiri adalah respon yang kurang baik. Mereka memandang rendah wanita yang terbuang itu. Sehingga yang tadinya banyak yang mempekerjakan wanita itu, sekarang hanya tinggal satu yang mau. Memang perbuatan menjual anak itu bukanlah hal yang baik, tapi simbah kok melihatnya bukan dari perbuatannya itu. Tapi lebih kepada keseluruhan aspek, dimana sebenarnya si ibu itu juga korban.

Saat simbah bertanya berapa tarif mencuci sebulan, dia menjawab “Kalau mencuci dan setrika, 300 ribu pak. Kalau mencuci saja 150 ribu,” kata ibu itu menyebutkan jumlah angka yang nilainya senilai dengan sekali kongkow di satu rumah makan di Jakarta. Jumlah itu dicapainya dalam waktu sebulan nyuci.

Si Denok, si ibu dan juga salah seorang sales simbah itu merupakan korban gaya hidup. Mungkin kalau cuma sekedar miskin saja, mereka sudah biasa. Karena dari sejak kecil mereka sudah mlarat ngempet. Tapi saat mereka tinggal di Jakarta, pahitnya kemiskinan makin terasa dengan adanya gaya hidup ala Firaun dan Qarun yang berseliweran di sekeliling mereka. HP dan televisi mungkin bukan barang yang urgen untuk mereka miliki. Namun karena itulah yang mereka lihat tiap hari ditenteng orang kaya dan dimiliki orang borju. Dan dengan menenteng serta memiliki barang-barang tersebut, setidaknya mereka sudah mencicipi sensasi menjadi kaya. Dan barang-barang itulah yang wajib bin fardhu ain harus dimiliki saat pulang kampung lebaran nanti, untuk menunjukkan pada orang di kampung bahwa di Jakarta dia telah sukses.

Orang-orang miskin saat ini benar-benar kehilangan pegangan dan partner. Dulu masih ada kyai atau ustadz yang mau mengobati kepahitan hidup mereka dengan wejangan yang empuk eyup dan menyejukkan. Namun jebulaknya dibalik wejangan empuk eyup dan menyejukkan itu, si kyai dan si ustadz pun rupanya juga bergaya hidup tak beda dengan si Bajirut sang juragan shabu yang rajin ndugem.

Beberapa ustadz yang kehidupannya disorot, dengan terang-terangan menunjukkan bahwa hidup mereka sudah makmur. Punya ini dan itu. Sambil menunjukkan apa yang sudah mereka punyai, mereka bercerita dengan penuh nada nostalgia bahwa dulunya mereka melarat. Makan susah, minum pun gelisah. Akhirnya dengan penuh perjuangan yang gigih, sang ustadz pun terentaskan dari neraka kemiskinannya. Maka sudah saatnya sekarang mengenyam kesuksesan. Kesuksesan adalah hidup cukup. Hidup cukup yang dimaksud adalah kaya. Cukup buat merayakan ulang tahunnya di cafe remang-remang dengan makanan seharga gaji nyuci sebulan.

Jika sukses hidup menurut ustadz atau kyai adalah hidup cukup dan turah mblasah, dan bukannya kesuksesan menghantarkan umat menuju kepada hidup jujur, kerja keras, akhlak karimah, kesederhanaan dan sifat terpuji lainnya, maka satu-satunya harapan bagi orang miskin untuk mengadu pun punah.


Racun hedonisme sedang merambah ke semua lini. Ustadz dan kyai pun kena juga. Satu-satunya harapan adalah mencari partner yang benar-benar partner. Gaya hidup yang dicontohkan suri tauladan uswatun hasanah Kanjeng Nabi saw adalah hidup yang sederhana. Sayangnya kebanyakan para pewaris Nabi, yakni ulama, hanya mewarisi hafalan sabda-sabdanya yang lantas dilantunkan macam tape recorder. Sedangkan gaya hidupnya masih mewarisi gaya si Bajirut, dengan maksud dan tujuan hidup yang tak beda. Tapi simbah yakin, itu gak semua. Hanya saja mencari perkecualian memang bukan pekerjaan yang mudah.

Jumat, 26 Mei 2017

Indera Bathin (Marhaban Yaa Ramadhan)

Sampeyan pernah nyaksiken orang makan Kepiting? Atau malah sampeyan pernah makan kepiting? Itu adalah aktifitas makan yang penuh perjuangan. Karena acara makannya diawali dulu dengan pertempuran melawan cangkang, yang seringkali mengorbankan jari, lidah, dan bibir. Tapi tetep saja makin asyik. Malah harganya muahal pol. Kenikmatannya berbanding lurus dengan perjuangannya.
Beda lagi dengan makan sego bandeng alias sego kucing. Ini menu khas kaum dhuafa wal marjinal, berupa sego sak kepel dirubung sambel sak uprit, plus bandeng atau ikan asin nyak mit. Tak sampai sepeminum teh bisa ludes sebungkus. Rasanya ngedabh-edabhi. Mak nyoss..kotos-kotos.

Beda lagi dengan makan kambing guling, eyem penggeng, es kopyor, es cendol atau menu makanan dan minuman lainnya. Gak usah simbah ceritakan. Ha wong simbah yang nulis saja malah kemecer, apalagi sampeyan yang baca…

Tapi bayangkan jika sampeyan kena trilogy sariawan, alias sariawan telung panggonan. Satu di ujung lidah, satu di tenggorokan, satu lagi di pipi dalam dimana biasa dipakai ngunyah. Acara makan bisa menjadi acara penuh siksaan. Makan gak banyak, gak mau lama-lama, menu apapun bisa bikin derita. Apalagi jika ditambah giginya kerowok semua dan pas kumat…. wuuaah… mantabh.
Jadi untuk mendapatkan rasa nikmatnya makanan, selain makanannya sendiri harus nyamleng, si penikmat juga harus beres kesehatan inderanya. Itu berlaku tidak hanya untuk makanan. Bahkan untuk urusan seksual pun begitu. Istri muda, cantik, kinclong moblong-moblong, perawan, tapi si suami penisnya udunen… wuaahhh… urusan ranjang bisa jadi lemek kasur..alias preeiiii...alias libur dulu.

Nah itu urusan dhohir. Sekarang coba sampeyan rasakan sholat dan puasa sampeyan! Menyiksa diri sampeyan gak? Saat sholat, sampeyan merasakan nikmatnya sholat gak? Atau pinginnya buru-buru? Kalo dapet imam agak lama berdirinya, misuh-misuh dalam hati. Bahkan ada konco simbah kalo mau jadi makmum pesen sama imamnya, “Ntar suratnya qul-hu sama wal ngasri saja ya…”

Demikian pula gimana hati sampeyan saat sedekah? Berat penuh siksaan, atau ringan penuh kenikmatan? Gimana hati sampeyan saat mbaca dan tadarus al qur’an? Penuh kelezatan menikmati hurup demi hurup, atau ngebut nabrak ngalor ngidul yang penting katam 30 juz?? Gimana hati sampeyan kalo berjilbab? Merasa lebih malu saat rambut kepalanya ditutupi, melebihi malunya mereka yang bahkan rambut kemaluannya saja diumbar??

Nikmat dan tidaknya ibadah kita sebenarnya lebih banyak ditentukan beres tidaknya indera batin kita. Kalo indera batinnya sehat, maka sholat, puasa, sedekah, tadarus Al Qur’an, taraweh, berjilbab, dlsb adalah menu nikmat yang enak disantap dan perlu.

Maka Nabi saw sholat malam kakinya sampai abuh bengkak gak masalah. Nyerinya abuh kalah oleh nikmatnya sholat. Sebagaimana nyerinya ketusuk cangkang kepiting kalah oleh lezatnya daging kepiting. Sholat lama malah nyamleng, seperti gak mau berakhir sebagaimana sedapnya menikmati sate tusuk demi tusuk… gak mau segera kenyang dan berakhir.

Jadi, kalo ada yang sholatnya ngebut pencilakan, al fatihah dibaca dalam satu napas, trus sujud rukuk cuma manthuk-manthuk kayak manuk engkuk, itu orang indera batinnya lagi error. Gak doyan barang enak, sebagaimana suami yang isterinya bahenol tapi penisnya udunen wal bisulen tadi.
Di Kitabullah diceritakan tentang orang munapik. Ini oknum batinnya ada penyakitnya, alias fii qulubihim marodhun. Maka akibatnya segala macem ngibadah maunya kilat ekspress, karena gak mau ndikir illa qolilaa (kecuali nyak mit saja). Maka kalopun sholat ya model orang aras-arasen. Ninggal sholat ogah, serius juga gak mau…

Sekarang rasakan pada diri kita. Seberapa nikmat ibadah bisa kita rasakan? Kalo masih macem orang kesiksa, berarti batin sampeyan error, perlu diobati, perlu diopname. Kalo buat sakit dhohir saja mau njual sawah, sapi, mobil, dan bahkan rumah agar dhohir sehat, lantas apa yang bisa sampeyan korbankan agar batin bisa sehat? Mau opname dimana batin sampeyan?
Yang jelas, saat ini makin banyak manusia yang kehilangan nikmatnya beribadah…..
 dan malah banyak merasakan nikmatnya maksiat…


Semoga Ramadhan tahun ini bisa menjadi sarana opname bathin yang kadang sudah tak lagi merasakan nikmatnya ibadah.


Selasa, 23 Mei 2017

Juri Prematur

Pada suatu hari kang Ndoweh bertandang ke rumah kang Mbleweh yang sedang membuat onde-onde ceplus. Tampak kang Mbleweh sedang sibuk membikin butiran-butiran kecil sang onde-onde ceplus.

Ndoweh  : Welhadalah, sedang ngapain kang?
Mbleweh : Halah.. sini mampir. Ini sedang mbikin onde-onde ceplus.
Ndoweh  : Waah.. kok sajak nyamleng. Mbikin kemecer saja ini.. Tak cicipi dulu ya kang.


Dengan tanpa ba-bi-bu kang Ndoweh tangannya nylonong menyambar sebutir adonan onde-onde ceplus tersebut. Lalu…

Ndoweh  : Bluueeh.. weks.. kok rasanya gak nggenah babar blas gini kang. Bisa masak nggak sih kang sampeyan..? Onde-onde ceplus kok berantakan rasanya..
Mbleweh : Woooo..dapurmu.. lambemu ndoweh kuwi… Ha wong barang mentah kok diunthal. Yo genah pating klenyit rasanya. Ha mbok sabar, nunggu ini digoreng dulu. Kalo sudah mateng, silaken dinilai. Ha wong barang mentah sudah dikomentari.. cah gemblung..
Ndoweh  : Wooo.. lha ayak. Ternyata mentah tho..


Mbleweh : Makanya sabar. Gak usah buru-buru nyacat. Mending kamu mbantu mbikin glindingannya. Biar cepet selesai.
Ndoweh  : Yo wis kang… sini..


Sepenggal kisah di atas hanyalah ilustrasi. Bahwa untuk mencapai suatu hasil, memerlukan suatu proses. Adakalanya proses itu sebentar, tapi adakalanya lambat bahkan bertele-tele kalo perlu. Selama proses berlangsung, adakalanya orang yang tidak paham buru-buru menilai. Mending kalo menilainya sesuai tahapan. Yang terjadi, seringkali orang menilai tidak sesuai tahapannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kang Ndoweh di atas.

Mbikin onde-onde ceplus hanyalah satu mitsal yang bisa dianalogikan ke banyak hal. Lha bisa dibayangkan kalo ada orang pekok setengah pinter, tiba-tiba pingin nyicipi tempe, namun yang dicicipi adalah kedele yang barusan diidak-idak untuk diproses jadi tempe. Lha apa nggak nyamleng… apalagi yang ngidak-idak kakinya korengen pisan. Muantabh pol.. Sudah gitu teriak-teriak nggoblok-nggoblokan si pembuat tempe, dianggep gak becus mbikin tempe karena tempe yang dia santap ternyata adalah kedele mentah beraroma koreng. Bisa dinilai siapa sebenarnya yang goblok.

Dalam dunia amal perbuatan manusia, seringkali kita melihat adanya satu proses perubahan diri manusia yang tadinya mbejat wal mbromocorah, menuju kepada amal kebaikan. Proses itu adakalanya cepat, namun adakalanya lambat. Tapi yang jelas orang tersebut sedang berproses.
Satu hadits yang panjang menceritakan tentang seorang yang sudah mbunuh 99 nyawa dan pingin mertobat. Dia nanya pada orang yang disebutkan di hadits shahih itu sebagai Rahib. Intinya dia pingin tobat, padahal sudah melibas 99 nyawa. Si rahib bilang, gak ada jalan tobat. Soalnya dosanya sudah ngedab-edabi. Mbunuh satu nyawa semacem anak nabi Adam saja dosanya gede, apalagi ini 99 nyawa. Maka sang rahib pun dilibas juga, geneplah jadi cepek.

Si Rahib tidak melihat proses menuju perbaikan disini. Yang dia lihat hanyalah keburukan yang sudah dan masih menempel pada si pembunuh. Lain halnya saat si pembunuh ketemu orang yang disebut sebagai “alim” di hadits itu. Si ‘alim’ berkata bahwa si pembunuh bisa mertobat, asalkan dia mau hijrah dari desa yang maksiat menuju ke desa yang taat ibadat. Si "Alim" fokus pada proses dan melihat potensi proses perubahan pada si pembunuh. Syarat itu disanggupi si pembunuh. Dia berangkat, di tengah jalan wafat. Malaikat adzab dan malaikat rahmat berdebat. Namun akhirnya si pembunuh selamat. Sampe entar di akherat. Cerita tamat.

Di jaman ini, juri amatiran macem kang Ndoweh banyak berkeliaran dimana-mana. Mereka sibuk memvonis dan berfatwa. Memfatwai dan memvonis kelakuan dan amal ibadah manusia yang memang secara ndohir jauh dari taat, namun si juri lupa bahwa ada proses disitu. Namun proses tak digubris, maka meluncurlah kata-kata : ahli bid’ah, kopar kapir,  kaum sesat, jahil, bodoh, ahlul hawa’, munapik, ahlu nar, anjing-anjing neraka serta puluhan kata-kata sopan dan pantas -setidaknya menurut mereka- yang lainnya.

Simbah punya temen mantan preman. Tadinya dia hidup dari malak orang. Singkat cerita dia mertobat. Mbuka warung kecil di samping mesjid. Niatnya pingin ngojek tapi gak gablek duik. Mau kridit takut dosa riba. Ha wong mau mertobat kok diawali pake riba, dia menolak. Namun akhirnya dapet juga dia motor buat ngojek, karena ada seorang sugeh yang baik hati kasih pinjeman tanpa bunga buat mbeli motor. Namun dia sedih, karena miturut beberapa ustadz yang mengaku ahlu sunnah wal jamangah, dia dilaknat Allah gara-gara masih bertatoo. Padahal dia sudah mati-matian menempuh jalan agar tatoonya hilang. Namun tatoo yang dia miliki tak kunjung ilang. Dan sampai saat ini cap laknat masih distempelkan pada dirinya, sementara proses penghilangan tatoonya masih berjalan.


Simbah sempat berpikir, kenapa ulama-ulama yang pinter-pinter itu seringkali menyibukkan dirinya dengan memvonis dan tidak mau sibuk  untuk mengubah keadaan yang divonisnya. Seandainya mereka sibuk memperbaiki umat yang divonisnya ngalor ngidul itu, simbah yakin gak ada waktu lagi buat memvonis umat yang memang makin jauh dari taat ini. Gimana umat ini mau jadi baik, manakala keburukan hanya dijadikan bahan untuk divonis, dan proses perbaikan dianggap final… ?? Lha jika ulama model begini ketanggor pembunuh 100 orang yang diceritakan di hadits Nabi, lak sudah dilibas satu-satu sampe tumpes.

So, kita memang hidup di era banyak kegelapan. Tidak perlu sibuk mencela kegelapan dengan banyak jurus dan kosa kata. Cukup datangkan saja penerang, maka kegelapan hilang.

Qul jaa'al haqqu wa zahaqol baathil, innal baathila kaana zahuuqo.....

Jumat, 19 Mei 2017

Mengikuti Jejak

Sore itu Kang Petruk sedang asyik bercengkerama dengan Lik Bagong. Kang Gareng tampak asyik mendengarkan percakapan keduanya sambil sedikit agak ngowoh.

Petruk  :  Gong, kamu tahu apa yang ada di tanganku ini?
Bagong : Welhadalah, itu kan batangan emas kang. Dapet darimana itu? Jangan-jangan sampeyan nyolong..

Petruk  :  Woo, nyolong lambemu kuwi. Ini barang berharga Gong. Dapetnya susah. Untuk dapet batangan emas ini ceritanya panjang.
Bagong  :  Lha ceritanya gimana kang. Aku kok jadi penasaran. Mbok aku dicritani, tapi jangan sak critan thok lho. Sampeyan kemarin bilang sak critan trus aku sampeyan kasih satu kata thok… “crit”. Habis itu Bubar..!

Petruk  :  Enggak Gong. Begini ceritanya. Kamu tahu kan, Lik Togog itu punya dua ekor wedhus balap alias anjing yang galaknya ngudubilah setan. Lha kemarin aku liwat depan rumahnya. Padahal aku gak ngapa-ngapain lho, ha kok dijegogi dan langsung dikejar.
Bagong  :  Sampeyan lari kang?

Petruk  :  Jelas… lari sipat kuping, rindik asu digithik Gong. Pokoknya lintang pukang lah. Sampai aku kepepet di jurang.
Bagong  :  Sampeyan lompat kang?
Petruk  :  Terpaksa Gong. Aku lompat ke jurang… untungnya ada pohon rindang. Aku nyangkut disitu.
Bagong  :  Wah bejo bener sampeyan.

Petruk  :  Bejo piye? Ha wong baru sebentar dahannya patah, aku langsung jatuh lagi.
Bagong  :  Wah… bonyok kang?
Petruk  :  Enggak. Untungnya di bawah ada kalinya. Jadi njebur disitu. Baru sebentar slulup, ternyata ada ular sebesar dahan kelapa sedang ngejar aku.
Bagong  :  Wah, sampeyan gak diemplok? Daging sampeyan pahit kali kang.

Petruk  :  Bukan begitu. Untungnya ada kelapa tua jatuh menimpa pas di kepala ular itu. Ularnya langsung klenger. Tapi ternyata di belakang ular itu ada buaya Gong. Aku langsung ke darat dan lari sembunyi. EE… buayanya ngikut. Karena panik, apa saja yang aku temu, langsung tak pakai buat mbandemi buaya itu. Sampai akhirnya aku tak sengaja nemu peti besar. Langsung tak angkat dan buayanya tak timpuk pakai peti itu Gong.
Bagong  :  Mati kang?

Petruk  : Mati Gong. Petinya sampai pecah. Dan ternyata isi peti itu batangan emas.
Bagong  :  Wah, bejo kemayangan sampeyan kang. Mbok sekarang aku diantar ke rumah lik Togog.
Petruk  :  Ke rumah Lik Togog ngapain?
Bagong  : Biar aku dijegogi sama anjingnya Lik Togog. Ntar lompat jurang, biar nemu emas kayak kamu.
Petruk  :  Woo, dasar bocah slewah.


Begitulah, kadangkala satu keberuntungan menemui seseorang dengan jalan yang seringkali tak terduga. Namun tak semua jalan yang akhirnya menemui happy ending itu pantas diikuti, karena di tiap episode peristiwa yang terjadi bisa terdapat kemungkinan yang menyebabkan endingnya mengenaskan. Sebagaimana kang Petruk saat diuber ular besar. Untungnya si ular ketimpa kelapa jatuh. Seandainya Lik Bagong yang jatuh ke air itu dikejar ular dan ternyata tak ada kelapa jatuh, apa nggak remuk badannya lik Bagong diklamuti ular raksasa.

Demikian juga dengan turunnya hidayah yang dikaruniakan Allah pada seseorang. Berbagai macam jalan Allah bisa menurunkan hidayah dengan bermacam sebab. Ada yang mendapat hidayah setelah membunuh seratus orang, ada yang mendapat hidayah setelah berkubang maksiat, ada juga yang mendapat hidayah melalui mimpi. Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al Farisi mendapat hidayah setelah berpindah-pindah keyakinan. Dari majusi, nasrani, yahudi sampai akhirnya hidayah Islam.

Namun dari semua peristiwa yang akhirnya mengantarkan seseorang mendapat hidayah itu, jika dialami oleh orang lain belum tentu akan menghasilkan akibat yang sama. Untuk mendapatkan hidayah, seseorang tidak lantas membunuh seratus orang hanya lantaran ada riwayat adanya orang yang bertaubat setelah membunuh seratus orang. Pada intinya, untuk mendapatkan kebaikan seseorang tidak harus merunut sebab buruk yang seakan mengantar kepada kebaikan itu. Karena yang pasti, sebab buruk tidak akan membawa kepada akibat yang baik. Jika satu keburukan seakan membawa kebaikan, itu hanyalah “seakan” saja. Karena sebenarnya yang mengakibatkan kebaikan atau dalam hal ini hidayah adalah kebaikan pula, yang seringkali tersembunyi karena ghaibnya.

Seorang yang tadinya bermaksiat kemudian bertaubat dan jadi baik, bukan perbuatan maksiatnya yang menjadikan dia taubat dan baik. Bisa jadi dia taubat lantaran manakala dia maksiat, dia besarkan kebencian dirinya pada kemaksiatan yang dia lakukan itu yang sampai pada akhirnya menyebabkan dia berani mengambil tindakan bertaubat dan jadi baik. Salman Al Farisi mendapatkan hidayah Islam bukan lantaran mengikuti ajaran Majusi, Nasrani dan Yahudi. Namun dia mendapatkan hidayah lantaran kejujuran dirinya terhadap Al Haq, walaupun keadaan sekitarnya saat itu belum sepenuhnya mendukungnya. Berkat kecintaan dan kejujurannya terhadap kebenaran, Allah sampaikan juga dia kepada kebenaran Islam, walaupun kebenaran itu berada jauh dari tempat tinggalnya.

Maka jejak kebenaran dan kebaikanlah yang seharusnya dicari dan diikuti. Bukannya jejak keburukan, walaupun kadangkala orang mendapat kebaikan dari jejak keburukan ini lantaran akhirnya bertaubat. Namun kebaikan yang berasal dari pintu keburukan pastilah memiliki efek samping, setidaknya gejala sisa dari akibat keburukan tersebut.

Saat ini, dengan majunya teknologi dan transportasi, gaya hidup ala Majusi, Nasrani dan Yahudi dengan gampang dapat disaksikan. Karena memang bersesuaian dengan hawa nafsu,maka mengikutinya tak membutuhkan perjuangan dan mujahadah. Kota-kota besar macam New York, Tokyo, Sidney, London, Singapura, ataupun Paris, dengan segala gemerlap dan gaya hidup bebasnya, menjadi kiblat bagi ibukota-ibukota negara di seluruh dunia. Termasuk Indonesia dengan Jakartanya. Sedangkan kota-kota propinsi macam Semarang, Medan, Bandung, Makasar ataupun Jayapura, berlomba-lomba memantaskan diri agar sepadan dan setara dengan Jakarta.

Demikian pula dengan kota-kota kecil di bawah ibukota propinsi, semuanya berkiblat kepada ibukotanya. Sehingga kalau dirunut, desa kecil macem Eromoko, Bonjot, Gempol ataupun Gayamsari, semuanya sedang merangkak pelan namun pasti menuju satu kehidupan dan gaya hidup ala New York atau Tokyo. Karena  kota-kota besar itulah yang saat ini dianggap sebagai kota masa depan,maju dan modern. Amat sedikit satu tempat yang dikelola dan diarahkan agar menjadi kota semisal Madinah Munawaroh di jaman Nabi, yang bersinar dengan hidayah dan kebaikan. Semua kota sedang digiring oleh kekuatan nafsu yang dimotori Yahudi,menuju gaya hidup yang menuhankan kebebasan hawa nafsu. Dan banyak dari kita yang tak menyadari sedang terlibat di dalamnya.
Simbah jadi ingat dimana pada satu malam ada serombongan Pramuka lewat di samping simbah. Secara iseng ada salah seorang kawan simbah bertanya,

“Sedang ngapain kalian?”
“Sedang mencari jejak pak,” jawab mereka.
“Oalah, malam-malam kok susah amat mencari jejak,” katanya. “Ha mbok suruh ke sini minta jejak berapapun tak kasih, nggak usah nyari. Tinggal njejaki gundhulnya satu-satu.”

Sampeyan juga sedang mencari jejak?

Rabu, 10 Mei 2017

Antara Wajar dan Normal

Pada suatu waktu, ada seorang pasien yang datang memeriksakan tekanan darahnya pada simbah. Pasien ini seorang ibu yang sudah agak lanjut usia. Maka setelah simbah periksa, ternyata tekanan darahnya 150/100 mm Hg. Pasien itu lantas bertanya :

"Normal apa gak mbah?" tanya si pasien.
"Wah, ini tinggi bu. Harus hati-hati," jawab simbah.
"Lho dok, bukankah saya sudah tua. Katanya kalau sudah tua, tekanan darah segitu itu dianggap normal." sanggahnya.

"Bukan begitu bu," simbah mulai menerangkan. "Buat kaum muda atau tua, patokan tekanan darah normal atau tinggi itu sama saja. Hanya saja kalau sampeyan yang sudah tua ini tekanan darahnya naik, itu dianggap wajar. Tapi wajar itu belum tentu normal."


Begitulah sedikit percakapan antara simbah dengan salah seorang pasien. Banyak diantara kita yang tidak bisa membedakan antara wajar dan normal. Wajar sering disinonimkan dengan normal. Padahal itu belum tentu sama. Seorang embah-embah yang sudah mambu lemah, seringkali mengalami apa yang disebut sebagai bolot bin budeg, atau setidaknya berkurang derajat pendengarannya. Hal ini wajar, mengingat usianya yang sudah udzur. Namun kekurangan pendengaran ini bukanlah sesuatu yang normal, dan bahkan harus dikoreksi. Jadi wajar tapi tidak normal.

Gara-gara ketidaktahuan penegertian antara wajar dan normal ini, banyak penderita hipertensi yang sudah tua tak mau dikasih obat karena beranggapan bahwa sudah sewajarnya tekanan darahnya tinggi. Padahal sebenarnya tidak normal. Dan sudah seharusnya tekanan darah yang tidak normal harus dinormalkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal-hal yang sebenarnya tidak normal tapi dianggap wajar. Seorang anak yang mbelingnya setengah mati, suka mbandemi teman mainnya, dan suka nyolongi barang tetangganya, seringkali dianggap wajar. Toh masih anak-anak, wajar kalau mbeling wal bandel. Tapi seharusnya orang tua memahami, walaupun itu wajar, tindakan suka mbandemi orang lain dan suka nyolong itu adalah tindakan yang tidak normal. Maka seharusnya ada tindakan penormalan, yakni dengan pendidikan yang baik, yang memahamkan pada si anak bahwa tindakannya salah. Sehingga si anak tidak membawa kebiasaan vandalisme primitifnya itu sampai dewasa.

Di negeri Republik Genthonesia ini, yang namanya nyolong bin korupsi adalah tindakan wajar. Mengapa wajar? Karena di semua lini kehidupan, hampir selalu dijumpai adanya oknum mayoritas yang melakukan tindakan nggentho atawa korupsi ini. Sayangnya banyak yang lupa, bahwa korupsi itu adalah tindakan yang tidak normal. Butuh terapi yang sangat keras agar penyakit ini terberantas sampai tuntas. Tapi karena wajar dianggap sama dengan normal, maka kebanyakan menanggapi dengan nada putus asa... "Ah, sudahlah..."

Pada sebagian komunitas bejad yang banyak terinspirasi dari kehidupan kaum bejad di njaban rangkah sana, yang namanya pamer puser adalah wajar. Itu adalah kebebasan berekspresi untuk menyatakan kemerdekaannya mempertontonkan jejak ari-arinya. Sang oknum seakan hendak mengatakan, bahwa dulu dia mendapat makan dan minum dari pusernya itu, maka sudah saatnya sekarang pun dia kembali mencari makan lewat jejak tali pusernya itu. Pengamat seni yang menuhankan seni menganggap itu wajar. "Lagi pula kalau pusernya tertutup, maka jalan rejekinya ikut tertutup juga. Mosok sih kita mau menghalangi orang mencari makan.." kata mereka.

Begitulah jika kita tinggal di negeri yang segalanya diukur dari ukuran wajar dan tidak wajar. Kewajaran bisa terwujud jika satu perbuatan dilakukan berulang-ulang yang akhirnya memasyarakat. Hamil di luar nikah, dulu dianggap memalukan. Ketika kejadiannya berulang dan memasyarakat, maka itu dianggap wajar. Kumpul kebo dulunya dianggap bejad bin mursal. Karena dipromosikan dengan gencar, maka derajatnya naik menjadi wajar. Pamer paha dan dada dulu hanya dilakukan pelacur yang mau menjual tubuhnya. Wanita terhormat dianggap tak wajar berperilaku seperti itu. Namun seiring dengan merebaknya fashion ala pelacur, maka berpakaian ala pelacur menjadi wajar. Berpakaian tertutup dianggap tidak wajar.

Wajar dan normal adalah dua hal yang berbeda. Kata normal dipakai untuk sesuatu yang memiliki standart ukuran yang baku. Sedangkan kata wajar ukurannya hanyalah kebiasaan dan besarnya jumlah. Yang tak biasa dan jarang disebut tak wajar, yang sudah terbiasa dan sering ditemui dianggap wajar. Normal tak memperhatikan frekuensi dan jumlah. Di Rumah Sakit Jiwa yang dipenuhi para pasien yang tak waras, walaupun mereka mayoritas dan berperilaku wajarnya orang tak waras, mereka dianggap tidak normal. Karena normal memiliki standar baku yang tak pandang bulu berapapun frekuensi maupun jumlahnya.

Dunia ini sebenarnya memiliki standar baku kenormalan. Tentu saja standar baku kenormalan ini disusun oleh Yang Menciptakan Dunia, yang biasa disebut sebagai syariat. Namun kelakuan manusia yang sudah disurupi oleh iblis menghendaki agar kelakuan tidak normalnya diijinkan. Maka standar kenormalan diubah menjadi standar kewajaran. Asalkan wajar, walaupun tak normal dipersilakan saja. Sedangkan yang normal, jikalau tak wajar, pantaslah untuk ditolak.

Mencuri, berzina, pamer aurat, berjudi, praktek riba, makan bangkai, minum khamer wal ciu dan segala perilaku bejad lainnya adalah perilaku yang tak normal. Ketidaknormalan ini oleh para pelakunya dialihkan menjadi kewajaran agar tampak normal. Namun selamanya yang tak normal akan tetap tak normal walaupun wajar. Dan segala keabnormalan membutuhkan obat agar nilainya menjadi normal, walaupun oleh pelaku dan penderitanya dianggap wajar.

Tak semua yang wajar adalah normal. Tak semua yang normal adalah wajar.  Perhatikanlah, manakala ada satu bangsa yang dengan teganya membantai satu bangsa lain, membunuh anak-anak dan wanitanya dengan keji, lalu merampas kekayaannya, kita pastilah akan bertanya bangsa apakah itu?! Manakala dijawab Israel dan Amerika Serikat, sebagian dari kita akan berkata, “Oo, pantes, wajarlah kalau 2 negeri gentho itu yang melakukan.” Celakalah satu bangsa yang melakukan satu ketidaknormalan lalu dianggap wajar.


Selasa, 09 Mei 2017

Kemakmuran

Bagi sampeyan yang tinggal di tlatah Solo dan sekitarnya, dan saat ini setidaknya berusia 40 tahun, tentu masih ingat yang namanya Bancakan Weton. Satu ritual yang diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan menyajikan satu nampan nasi tumpeng yang dihiasi sayur gudhangan binti urap plus telor ayam yang ukurannya cukup menggetarkan jiwa. Betapa tidak, bagaimana sampeyan bisa membayangkan sebutir telor ayam yang dibagi dengan bilangan empat kwadrat…?

Dengan menu Bancakan Weton yang sangat sederhana itu, simbah masih inget bagaimana nasi bancakan itu cukup dahsyat menggoncang lidah ndeso kita. Sehingga jika ada panggilan undangan buat menghadiri bancakan weton ini, segera saja semua berandal cilik seumuran simbah waktu itu berlomba berkumpul untuk merubungi nasi tumpeng sederhana itu. Terus terang, yang paling menggoda dari menu bancakan saat itu bukanlah nasi urapnya. Namun hampir semua anak-anak saat itu sepakat, telor seperempat kwadrat yang mungil itulah yang menjadi daya tarik paling kuat buat menyedot ketertarikan para member bancakan itu. Sehingga seringkali anak-anak saat itu menjadikan telor ayam seperempat kwadrat itu sebagai hidangan penutup, yang akan habis dengan sekali klamut.

Simbah masih inget si Yadi Lemu dan Surono Nggople yang nangis kenceng karena telor ayam seperempat kwadrat yang sedianya dieman-eman buat “Gong Penutup”, jatuh bersimbah tanah gara-gara sengaja disenggol oleh konconya yang sirik karena telornya lebih dulu disantap sebagai pembuka.

Meskipun hanya bervolume seperempat kwadrat, telor ayam masih merupakan makanan mewah saat itu. Sehingga kalau di satu perhelatan makan-makan dihidangkan telor ayam utuh, maka itu merupakan lambang kemakmuran buat sang tuan rumah. Dan segera akan menjadi pembicaraan di tengah masyarakat, dengan ragam komentarnya.

“Wuedyan tenan, ingone ndog utuh…. sedep tenan, “ kata mbah Dermo sang pengamat kuliner.


Waktu berlalu. Kasta telor yang tadinya menduduki area ningrat, semakin merosot tergantikan oleh lawuh pauh (lauk pauk) yang bernuansa daging. Tadinya daging merupakan menu sakral, yang hanya bisa dinikmati setahun dua kali, yakni di saat hari raya lebaran dan kurban. Kalaupun ada tambahan selain di 2 waktu itu, biasanya daging ayam tambahan ini berasal dari ayam mbah buyut yang kena ayan, lalu masih sempat disembelih daripada mati mubadzir. Dengan hadirnya kemampuan rakyat yang makin bisa beli daging, Bancakan Weton tidak lagi menjadi acara yang menarik. Walaupun di saat terakhir simbah melihat menu bancakaannya, telor seperempat kwadratnya sudah ditingkatkan volumenya menjadi telor ayam separo. Namun anak-anak mendatangi acara bancakan ini dengan ogah-ogahan.

Dari pengamatan simbah, yang namanya kemakmuran itu seringkali diwujudkan dalam jenis lauk yang dikonsumsinya. Orang mengkonsumsi makanan seringkali hanya untuk menunjukkan derajat kemakmurannya. Ketika melihat orang yang makan dikelilingi lauk serba daging, masyarakat menilainya sebagai orang yang sukses. Awalnya begitu. Sehingga target makan bagi orang sukses adalah bisa makan dengan daging.

Namun ketika diketahui bahwa banyak penyakit yang bisa dimunculkan oleh menu yang serba daging, orang-orang mulai kaget. Rupa-rupanya lambang kemakmuran mereka membawa petaka. Lambang kemakmuran mereka merupakan sumber penyakit yang menakutkan semisal stroke, hiperkolesterolemia, hypertrigliseridemia, asam urat, jantung koroner dan penyakit mematikan lainnya. Dan makanan ndeso macam gudhangan binti urap, tempe (yang enak dibacem dan perlu), tahu, dan lainya yang tadinya dipandang dengan pandangan rendah, ternyata malah mengandung zat yang bersahabat bagi tubuh sehat. Akhirnya terangkatlah derajatnya, ibarat kere munggah bale.

Begitulah, yang namanya kemakmuran, ukurannya selalu berubah. Pencanangan mewujudkan masyarakat yang Adil dan Makmur sudah ada sejak jaman Majaphit. Lalu digaungkan lagi dijaman orba dengan Program Pelitanya. Tapi bagaimanakah wujud kemakmuran itu dan bagaimana menggapainya, banyak yang kebingungan. Simbah melihatnya seperti kuda yang dipasangi rumput segar di depan matanya, lalu sang kuda mengejar dengan penuh semangat, berlari dengan makin cepat, namun jarak dia dengan rumput itu tak berubah. Sayangnya sang kuda tidak sadar dan menyangka bahwa dia makin dekat dengan rumput segar itu.

Gambaran simbah di atas akan klop dan terjadi pada sampeyan semua, manakala yang namanya kemakmuran itu adalah satu sarana untuk mencukupi kebutuhan hawa napsu. Karena hawa napsu tidak akan pernah cukup dengan yang ada. Diberi satu gunung emas pun akan kepingin punya dua, dan seterusnya. Namun kemakmuran akan gampang terwujud, manakala yang dimaksud adalah memakmurkan hati manusia. Mencukupi kebutuhan hati. Kemakmuran sudah dekat dan bahkan setiap hari terwujud pada mereka yang hatinya qona’ah, merasa cukup dengan apa yang bisa dia raih.

Merasa cukup bukan berarti tidak punya keinginan lebih. Yang merasa cukup adalah sang hati, tapi manusia dikaruniai nafsu yang akan memacunya untuk memiliki lebih. Nafsu tidak boleh dimatikan. Dialah yang nantinya dengan sendirinya memasukkan rasa kurang pada manusia. Remnya adalah qona’ah. Jika sampeyan bisa menjaga stabilitas pedal rem dan pedal gas nafsu dengan disertai permainan kopling yang cantik, sampeyan bisa melaju di tengah kehidupan dengan harmonis. Itulah kemakmuran yang sesungguhnya.

Tapi kebanyakan manusia lebih suka mewujudkan dan mementingkan kemakmuran dengan simbol-simbol materi. Dengan bentuk rumah, jenis mobil, jenis lauk,stelan jas, jenis stick golf dan lain sebagainya. Manusia yang mementingkan mewujudkan kemakmuran dengan bentuk materi,kebanyakannya adalah manusia yang sedang mengelola kesan makmur. Mereka lebih suka terlihat makmur daripada menjadi makmur itu sendiri. Hal ini bukan berarti tidak boleh memiliki materi. Milikilah materi yang memang sampeyan butuh untuk memilikinya. Tunaikan kewajibannya (zakatnya), lalu berqona’ahlah hati sampeyan. Selamat menggapai kemakmuran… 

Senin, 08 Mei 2017

Londo Gosong

Semasa simbah SD dulu, di lapangan sepakbola kabupaten seringkali diputar pilem layar tancep alias misbar (gerimis bubar). Pilem yang biasanya terbagi menjadi beberapa rol putaran itu, menjadi acara paporit dimana memang belum banyaknya alternatip hiburan yang tersedia saat itu. Salah satu pilem paporit simbah kala itu adalah si Pitung, yang gak pernah simbah tonton sampai rampung dikarenakan di saat rol terakhir hampir selalu diajak pulang oleh mbah kakung yang sudah ngantuk.
Di pilem lawas itu diceritakan bagaimana si Pitung dengan heroiknya melawan penjajah Belanda yang dengan wagunya diperankan oleh bintang-bintang pilem terkenal saat itu. Di hampir semua episode, usaha si Pitung selalu dijegal oleh adanya orang pribumi yang malah justru menjadi antek penjajah. Kulitannya pribumi, tapi hatinya ikut Londo (Penjajah Belanda). Maka wajar jika lantas karakter ini disebut sebagai Londo Gosong.

Karakter Londo Gosong ini merupakan karakter pengkhianat yang selalu merugikan sang tokoh pahlawan. Tidak hanya di pilem si Pitung karakter Londo Gosong ini bisa ditemui, tapi di pilem-pilem kepahlawanan lainnya selalu saja ada karakter dengan perilaku Londo Gosong ini. Ciri-ciri Londo Gosong era jaman pilem kuno ini selalu diwarnai dengan watak pengkhianat yang mau menjual bangsanya sendiri. Rela dijejeli roti keju buat menusuk dari dalam. Lebih mencintai gulden Londo daripada gobangan rupiah anak negeri. Dan lebih bangga mengkonsumsi apa-apa yang berbau Londo daripada produk dewek.

Jika sampeyan mau mengamati, sebenarnya propil Londo Gosong ini tak hanya berhenti di cerita-cerita pilem perang kemerdekaan. Bahkan setelah merdeka pun karakter Londo Gosong ini sebenarnya bukannya punah, tapi justru semakin merambah. Tentu saja hanya pemerannya saja yang berganti, sementara sifat karakter tokohnya tetap. Jika dulu negeri ini dikangkangi kongsi dagang VOC atawa kumpeni, sekarang kongsi yang mengangkanginya macem-macem walau sebagiannya tetep tiga hurup macem IMF, WTO, atau CGI. Kalau dulu ada centeng kumpeni, mata-mata londo, atau ndoro tuan tanah, propil Londo Gosong itu sekarang diisi dengan lebih banyak lagi sebutan.

Kegunaan Londo Gosong ini di jaman penjajahan kuno seringkali hanya sebatas disuruh jadi mata-mata untuk menangkap tokoh pahlawan anak negeri. Sedangkan di jaman kemerdekaan, fungsi Londo Gosong ini banyak sekali. Beberapa di antaranya adalah memprivatisasi BUMN, bakulan dan makelaran satelit, bakulan kapal tanker, ngobral gas alam, tembaga, timah dan barang tambang lainnya yang menghasilkan nilai kontrak seharga kacang goreng dengan bonus gratifikasi wedhus dan sapi beserta anak cucunya, dan lain sebagainya. Pantas digelari Raden Ngabehi Londo Gosong Panotobondho.

Di Bidang keamanan, Londo Gosong ini seringkali nangkepi orang berdasarkan pesanan Londonya. Kalau sang Londo ingin si Dulkamid anak bakul godril itu ditangkep dengan tuduhan tukang ngebom, maka sang Londo Gosong ini dengan tergopoh-gopoh langsung nangkep si Dulkamid, walaupun ternyata si Dulkamid gak punya salah apapun kecuali ngebom biologis alias ngenthut di muka umum dengan bau khas ala godril. Yang penting aliran dana dari ndoro tuan meneer Londo terkucur.

Di bidang moral, sang Londo Gosong selalu merujuk ketinggian budi pekerti moralnya dengan segala sesuatu yang datang dari ndoro tuan meneernya. Jika pamer kantong ASI dianggap etis oleh kaum Londo, maka Londo Gosong ini juga berlomba-lomba menggelar acara yang memamerkan organ sumber makanan jabang bayi itu. Lalu perempuan Londo Gosong ini merasa bangga manakala bisa berjejer bersama wanita Londo asli untuk memakai swimming suit mlipit dengan alasan pariwisata. Bangga bisa menunjukkan bahwa ke-Londo-annya sudah mendekati ambang persis. Jika di tanah Londo sana ada majalah semi kemproh atau bahkan full kemproh, maka Londo-Londo Gosong ini tak puas jika belum membuat yang serupa di negerinya sendiri. Dianggapnya pakaian para inlander ini terlalu boros memakai bahan kain. Maka dibuatlah majalah yang dipenuhi wanita dengan pakaian yang membuat munyuk saja merasa dirinya lebih sopan dalam berbusana.

Di Bidang seni, para Londo Gosong ini tak bisa membedakan mana seni dan mana air seni. Yang satu berarti indah, sedangkan yang satu jelas-jelas pesing. Tapi buat mereka sama saja, ibarat orang pilek disumpeli hidungnya. Sehingga buat mereka jorok boleh asalkan nyeni. Cabul boleh asalkan nyeni. Bebas berereksi asalkan nyeni. Membunuhpun tak masalah asalkan memiliki nilai seni. Semua boleh atas nama seni. Maka tak boleh ada sensor.

Di bidang hukum, para Londo Gosong ini berusaha meloloskan undang-undang yang bisa melunturkan kegosongannya sehingga bisa tampak Londo benar. Sedangkan undang-undang yang sekiranya menghambat proses kelondoan mereka, akan dijegal dengan segala cara, termasuk walk out, demo ataupun pengerahan massa, agar masa depan kelondoan mereka terjamin.

Di semua bidang Londo Gosong ini bisa merambah. Maka Londo Gosong ini yang dulunya cuma antek Kumpeni atau centeng berkumis bertopi marsose, bisa berubah menjadi pengacara, politisi, aktifis HAM, LSM, seniman, sineas, developer perumahan, bankir, menteri, dan bahkan juga anggota DPR.

Dulu yang dijual Londo Gosong ini hanyalah tokoh pahlawan yang dianggap pemberontak oleh sang Londo, macam si Pitung. Tapi Londo Gosong modern ini menjual apapun yang laku untuk dijual,karena bagi Londo Gosong, semuanya bisa punya harga, tentu saja kecuali dirinya, yang memang sudah tak punya harga diri. Dulu Londo Gosong lebih menyayangi Gulden daripada gobangan, sekarang dollar adalah raja mata uang sedangkan rupiah adalah mata uang kasta kere. Dulu Londo adalah Belanda, sekarang Londo berubah menjadi Amerika Serikat dan sekutunya, sedangkan Londo Gosongnya tetep anak negeri dewek dengan mental yang masih sama dengan moyangnya.


Maka berhati-hatilah sampeyan. Jika gaya hidup ala Londo diiming-imingkan ke hadapan sampeyan,lalu sampeyan merasa bahwa seyogyanya semua orang harus seperti Londo itu, maka anda perlu melihat diri sampeyan barangkali saja sampeyan sudah mulai bermetamorfosis menjadi Londo Gosong secara bertahap. Mungkin awalnya sampeyan hanya jual sawah agar bisa bergaya hidup ala Londo. Tingkat berikutnya menjual harga diri, moral, agama, lalu menjual bangsa dan negara sak ampas-ampasnya.

Duluan Mana?

"Ayam sama telor duluan mana Dul?” tanya Paijo pada Paidul.
“Duluan Ayam kang,” jawab Paidul.
“Lha kalo Telor sama ayam duluan mana?” tanya Paijo lagi.
“Yo genah duluan Telor…” jawab Paidul mantabh.
“Weh, ilmu ketoprakan mu sudah lulus tenan Dul… sip,” puji kang Paijo.


Itu adalah sepenggal dagelan lawas gaya Basiyo, yang masih sering dipakai oleh generasi dagelan berikutnya macam Srimulat atau Kirun. Di dunia nyata dagelan ala telor dan ayam itu juga banyak bertebaran. Kontroversi duluan mana yang muncul ala ayam dan telor, banyak mencuat. Semua teori diajukan, dari teori mbambung sampai teori mbuhraruh disodorkan demi mendukung pendapatnya.

Namanya juga dagelan, bisa diterima serius sambil mengerutkan kening, bisa juga diterima sambil ngantuk dan ngowoh. Beberapa dagelan ala ayam dan telor yang sempat simbah temui bisa dibaca berikut ini. Tentu saja sampeyan boleh gak setuju, baik dengan cara baper setengah menying, atau dengan ngomyang setengah munthuk.

1. Duluan mana antara Agama dan Animisme-Dinamisme?
Prof. Dr. Kumlot yang sudah kondang pinter wal mahir menjelaskan, bahwa cikal-bakal agama itu adalah berawal dari keyakinan lokal manusia yang berkembang menjadi agama. Dari animisme, yang percaya pada arwah gentayangan, memedi, wewe gombel dan semacamnya, juga Dinamisme yang percaya pada kekuatan keris, tombak sakti, kapak sakti 521, ataupun akik sakti, berkembang menjadi agama. Prof. Dr. Kumlot yang anggota Perbakin (Persatuan Batuk Kinclong) karena rambutnya dimakan kepinterannya, yakin bahwa teorinya baik dan benar sebagaimana penggunaan bahasa Indonesianya.


Lha Mbah Dipo tahu-tahu membantah. Tentu saja dengan teori yang dianggap mbambung. Lha yang bener itu agama ada duluan. Ha wong manusia pertama yang turun dan tinggal di bumi ini sudah beragama kok. Jika lantas ada aliran animisme ataupun dinamisme itu kan karena anak cucunya mbah Adam a.s keyakinannya keblinger. Dibelokkan sama Iblis yang dulu pernah menggelincirkan manusia pertama. Dari nyembah Allah yang Maha Esa, tahu-tahu nyleweng nyembah wit Randu Wingit, nyembah Kuburan, nyembah akik, nyembah tombak sakti sampai akhirnya nyembah Rudal sakti ataupun F-16 sakti.

Tentu saja teori ini gak populer. Yang populer adalah teori yang mengatakan polytheisme itu ada duluan, barulah akhirnya muncul monotheisme. Sedangkan kaum atheis gak peduli yang mana muncul duluan. Yang dia paham hanya lair ceprot, seneng-seneng, mati jadi tanah.

2. Duluan mana antara Cinta dan Pengorbanan?
Ini agak susah. Kebanyakan menganut paham cinta dulu baru mau berkorban. Tapi kalo mau sedikit berpikir dan merenung sebenarnya yang bener adalah sebaliknya.

Satu misal, sampeyan nabung duit susah payah buat beli sepatu baru. Tiap hari ngempet seneng, biar duit cepet kumpul. Kalo yang lain puasa senen kemis, sampeyan malah makannya yang senen kemis. Sampai akhirnya bisa beli sepatu kinclong bermerek. Ha kok pas mampir sholat, sepatu sampeyan bablas angine digondol maling, temtu bisa dibayang betapa kecewanya sampeyan. Karena sampeyan telah berkorban banyak buat sepatu itu.

Perasaan itu tak akan sama jika sepatu tersebut didapat dari hadiah karena beli HP. Hilang pun tak begitu kecewa, karena pengorbanan buat sepatu tersebut kurang.
Maka jika satu rumah tangga,dibangun dengan sama-sama berkorban baik suami maupun isteri, maka semakin tua usia pernikahannya, sang suami akan makin cinta pada isteri dan demikian juga sebaliknya. Meskipun sudah sama-sama peyot dan peyok. Tadinya ireng manis, begitu tuwek,  ilang manisnya tinggal irengnya.

Nabi Ibrahim a.s digelari Khalilullah alias Kekasih Allah, setelah beliau banyak melakukan korban demi menjalani perintah Allah. Kasih dan Cinta datang seiring dengan banyaknya pengorbanan. Maka cinta pada pandangan pertama adalah tipuan. Lebih tepat adalah ketertarikan pada pandangan pertama. Kalo cinta belum.

Lha kalo baru ketemu gabrus lalu menyatakan cinta, genah gombal mukiyo. Tentu saja ngomong cinta, ha wong yang ditemui denok deblong kinyis-kinyis. Coba kalo yang ditemui model Limbuk Cangik. Rumah tangga yang dibangun hanya karena ketertarikan pada kecantikan, penampilan luar, paras molek, putih, maka tak akan berumur lama. Dia hanya akan berumur selama rasa bosan belum datang, atau selama belum ada yang lebih moleq yang lebih menarik hatinya.

3. Duluan mana manusia dengan munyuk?
Kalo miturut cobrotannya mbah Darwin dengan teorinya, genah munyuk duluan. Dari munyuk lalu jadi kera setengah manusia, lalu manusia setengah kera, lalu manusia. Maka mbah darwin dan wadyabalanya kipu nggali lobang bareng gali-gali lainnya mencari posil makhluk ala Hanoman wal Sun Go Kong yang dianggap missing link. Yakni manusia yang wajahnya masih ala Tuan Sinyo alias Untune Kedawan Gusine Menyonyo alias mrongos. Teori yang gak bisa menjelaskan asal muasal kecoa ini banyak pengikutnya. Meskipun sampai sekarang gak pernah ditemukan posil missing link yang dimaksud.


Lha kalo teorinya mbah Dipo lain lagi. Dari wujud manusia dulu, barulah kalo akhlaknya ra mbejaji derajatnya turun jadi munyuk. Munyuk yang doyan sapi vietnam, dana reboisasi, Dana kelautan, bahkan juga doyan aspal, traktor, lumpur lapindo dan kalo perlu segala sesuatu di jagat abuh ini diemplok semua.


Sekali lagi, sampeyan boleh mbantah ataupun boleh setuju postingan yang pantas masuk acara “Percaya Nggak Percaya” ini.

Minggu, 07 Mei 2017

Es Teh Manis

Di masa SMP, hari tatkala simbah disangoni buat uang jajan hanyalah di hari saat ada pelajaran olahraga. Tak banyak, tapi lumayan lah. Only 50 ripis. Uang sebesar itu hanya bisa dipakai menebus segelas es teh manis di kedai pak Senen di samping gedung sekolah. Jika kebetulan ada konco yang dermawan, simbah masih bisa menebus sebungkus sego kucing seharga 50 ripis juga.

Harga es teh manis ini masih simbah inget benar. Bahkan gambar uang 50 ripisan itu pun simbah juga masih inget. Sehingga, memory harga es teh manis ini membuyar di saat simbah berkesempatan mampir di salah satu café di bandara. Yang simbah pesan sama dengan minuman yang dijual Pak Senen. Tapi, harga yang harus dibayar ternyata melebihi harga obralan sempaknya Mbokdhe Goprot yang sepuluh ribu tiga itu. Bahkan 3 kali lipatnya, yakni 30 rebu ripis. Itu 60 kali lipat harga es teh manis Pak Senen.

Simbah tadinya tak memaklumi. Bayangkan saja, 30 rebu ripis hanya untuk segelas es teh manis. Sewaktu kegumunan simbah ini diutarakan ke beberapa konco, mereka malah justru menjuluki simbah ndeso wal katrok.

“Oalah, Mbah,Mbah… ya memang segitu. Gitu aja kok gumun. Biasa itu, Mbah. Mbok jangan terlalu ndesani tho, Mbah…,” begitu komentar mereka.

Di tahun dan bulan yang sama, simbah masih bisa merasakan es teh manis di tempat lain hanya dengan 1500 ripis. Simbah berpikir mungkin harga 30 rebu ripis itu karena harus bayar pajek ini itu, nggaji si ini dan si itu, nyogok si oknum ini dan si oknum itu, serta uang keamanan buat ormas ini dan ormas itu yang harus dikeluarkan oleh pihak café agar usahanya berdiri mantabh. Atau mungkin karena letaknya di bandara, maka es teh manis harus mahal. Karena, yang bisa naik mongtor mabur bin airplane itu hanya orang kaya. Jadi, kalo dijual murah malah gak bakalan dimasuki konsumen. Karena, orang kaya hanya doyan minuman mahal walau hanya es teh.

Rekan simbah yang ahli marketing beda lagi pendapatnya. Kemahalan harga es teh manis itu bukan karena pajak, atau segala tetek bengek lainnya. Namun, kemahalan harga itu karena lokasinya, yakni di bandara. Di bandara semuanya pantas untuk mahal. Yang murah malah dicurigai, jangan-jangan barang bermasalah. Jadi, di tempat tertentu, harga barang harus mahal karena menyesuaikan diri dengan tempatnya. Dan juga di tempat lain barang bisa jadi murah dan tak pantas mahal jika ingin laku.

Jadi, sesungguhnya semuanya itu hanyalah bahasa marketing, yang harga suatu barang tidak ditentukan oleh zat barangnya, tapi karena lokasinya. Sego pecel yang bener-bener pecel dengan lawuh tahu bacem, bisa berharga limapuluh rebu ripis jika dijual di resto yang lokasinya di Plaza Indonesia atau di resto bandara. Dan dengan segala kendesoan penampilan sego pecelnya, harga itu pantas dan tak diprotes pembeli. Bayangkan jika sego pecelnya Yu Ginem Mbleguk yang mangkal di pojokan pangkalan ojek itu dihargai 50 rebu ripis sepincuk. Opo ora njaluk dipisuhi, atau setidaknya gak bakalan ditengok. Kecuali, oleh Kang Tambi Gembrot yang memang naksir Yu Ginem Mbleguk, berapa pun harganya dia membuta.

Dari sini sebenarnya Sampeyan juga bisa menyimpulkan, bahwa bagi pembeli ada tempat yang tepat agar nominal uang yang Sampeyan keluarkan memiliki nilai pas. Dan perbedaan itu hanya semata-mata karena lokasi jual beli.

Dalam hal jual beli kayak beginian, Allah Swt di dalam Al-Qur`an menempatkan diri-Nya sebagai Pembeli, sedangkan kita diposisikan sebagai penjual. Allah menyatakan bahwa harta dan jiwa orang beriman telah dibeli oleh Allah dengan harga paling pantas, yakni dengan harga surga. Bunyi selengkapnya demikian:

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.” (Q.s. at-Taubah [9]:111)

Persoalannya adalah dagangan Sampeyan digelar di mana? Kalo digelar di lapak yang benar, yakni lapak fi sabilillah, maka harga yang ditawarkan Allah sangatlah pantas. Dan, perlu dipahami, begitu lapaknya benar, maka transaksi sudah terjadi. Karena bentuk bahasa yang ditawarkan Allah menggunakan bentuk lampau, yang menunjukkan telah terjadi deal harga. Padahal, jika Sampeyan inget dan nyawang githok Sampeyan, harta dan jiwa yang ada pada Sampeyan itu milik Allah juga. Jadi, ibaratnya Sampeyan itu sudah dipinjemi, trus yang minjemi malah membeli barang yang Sampeyan pinjam dengan harga mahal pulak. Jian bejo kemayangan…!

Namun, jika dagangan Sampeyan diletakkan di lapak deket pangkalan ojek, harta, dan jiwa Sampeyan hanya akan dihargai senasib dengan harga sego pecelnya Yu Ginem Mbleguk. Itu pun kalo laku. Dan inget, dagangan Sampeyan itu hasil minjem. Jadi Sampeyan dipinjemi lalu dijual ke pihak lain. Ini namanya tidak amanah alias pengkhianat.

Jadi jika mau menjadi orang beriman yang senantiasa sibuk berada di jalan Allah, harga hidup Sampeyan ibarat harga makanan kelas resto bandara, bahkan lebih berkali lipat. Namun jika salah taruh, hidup Sampeyan sekadar bisa hidup. Dan, Sampeyan hidup dalam pengkhianatan karena menjual barang titipan pada pihak lain dengan harga yang tidak pantas. Hidup adalah jual beli, juallah ke pembeli yang memberi harga terbaik. Harga terbaik hidup kita adalah surga.